Sabtu, 16 Juli 2011

Disseminated intravascular coagulation (DIC)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.         DEFINISI
Disseminated intravascular coagulation atau DIC adalah gangguan serius yang terjadi pada mekanisme pembekuan darah pada tubuh. Normalnya tubuh membentuk bekuan darah sebagai reaksi terhadap trauma. Dengan DIC, tubuh membentuk bekuan darah kecil secara berlebihan, mengurangi jumlah factor pembekuan dan trombosit dalam tubuh. Bekuan-bekuan darah kecil ini berbahaya, dan dapat mempengaruhi suplai darah ke organ tubuh, menyebabkan disfungsi dan kerusakan organ. Perdarahan secara besar-besaran dapat terjadi karena kurangnya factor pembekuan dan trombosit pada tubuh. DIC dapat mengancam nyawa dan harus diterapi secara cepat. (Kellicker, 2005; Wikipedia, 2006)
DIC adalah sindrom multifaset, sindrom kompleks dimana homeostatik normal dan sistem fisiologik yang mempertahankan darah agar tetap cair berubah menjadi sistem yang patologik sehingga terjadi trombi fibrin yang menyumbat mikrovaskular dari tubuh. System fibrinolitik yang teraktivasi ini mengakibatkan terjadinya perdarahan yang difus. DIC bukanlah penyakit, tapi merupakan akibat dari hal lain yang mendasarinya. (Price, 1995)
Disseminated Intravascular Coagulation memiliki karakteristik dengan meningkatnya aktivasi dari sistem koagulasi, yang memberikan pengaruh pada formasi fibrin di dalam intravaskular yang pada akhirnya menyebabkan penyumbatan dari trombosit pada pembuluh darah kecil maupun sedang.  Koagulasi intravaskular dapat mempengaruhi suplai darah ke organ, dan berhubungan dengan hemodinamik dan kekacauan metabolik, dan memiliki kontribusi terhadap kerusakan dari berbagai organ. Pada saat yang sama, penggunaan dan pengurangan trombosit yang terjadi sesudah itu dan juga koagulasi protein dari koagulasi yang berlangsung dapat menyebabkan perdarahan yang hebat. Perdarahan dapat melukiskan gejala pada pasien dengan Disseminated Intravascular Coagulation, sebuah faktor yang dapat menyulitkan pengambilan keputusan mengenai terapi yang akan diberikan. (Levi, 1999)
Aktivasi sistemik dari koagulasi menyebabkan perubahan deposisi intravascular dari fibrin dan penipisan jumlah trombosit dan juga factor koagulasi. Sebagai hasilnya, terjadi trombosis pada pembuluh darah sedang dan kecil, yang berpengaruh pada kerusakan organ, dan dapat menyebabkan perdarahan hebat. (Levi, 1999)
DIC terjadi pada pasien dengan kondisi buruk yang bermanifestasi sebagai perdarahan yang terjadi pada kulit (purpura) dan jaringan lainnya. Hal tersebut timbul sebagai komplikasi dari berbagai penyakit serius yang bahkan mengancam nyawa. Merupakan kelajutan dari peristiwa yang terjadi pada jalur koagulasi. Pada permulaannya terdapat aktivasi yang tidak terkontrol dari faktor pembekuan pada pembuluh darah, yang menyebabkan pembekuan darah pada seluruh tubuh. Penurunan jumlah trombosit tubuh dan faktor koagulasi meningkatkan terjadinya resiko perdarahan. DIC bukan merupakan suatu diagnosa yang spesifik, tapi biasanya merupakan indikasi adanya penyakit yang mendasari. (Ngan, 2005)

B.          EPIDEMIOLOGI
Kondisi ini lebih terjadi sebagai respon terhadap factor lain dibandingkan sebagai kondisi primer. Tidak ditemukan factor predisposisi yang berhubungan dengan umur, jenis kelamin, ataupun ras. (Hewish, 2005)

C.          KLASIFIKASI DIC
Ada sumber yang menyebutkan bahwa DIC dibedakan menjadi dua bentuk klinis, yakni DIC akut dan DIC kronik.
  • DIC akut adalah kelainan perdarahan yang memiliki karakteristik timbulnya memar atau lebam (ekimosis), perdarahan dari mukosa (seperti pada mukosa bibir atau genital), dan penurunan jumlah trombosit dan factor pembekuan di dalam darah. Purpura Fulminan adalah bentuk fatal yang terjadi cepat dan berbahaya dari DIC akut.
  • DIC kronik mempengaruhi formasi bekuan darah di pembuluh darah (tromboembolism). Faktor pembekuan dan trombosit dapat berada pada nilai normal, meningkat, atau bahkan sedikit menurun pada DIC kronik. (Ngan, 2005)
Sumber lainnya membagi DIC menjadi DIC subakut dan DIC akut.
  1. DIC subakut berhubungan dengan komplikasi tromboembolik seperti DVT dan PE seperti terjadinya pada katup jantung.
  2. DIC akut
    • Trombositopenia dan penurunan factor koagulasi mengarah pada kecenderungan terjadinya perdarahan
    • Diperburuk dengan meningkatnya degradasi fibrin sampai produk pemecah fibrin yang akan mengganggu terhadap polimerasi fibrin dan juga terhadap fungsi trombosit.
    • Endapan fibrin pada pembuluh darah kecil mempengaruhi terjadinya iskemia jaringan. Organ yang paling mudah terpengaruh adalah ginjal, dimana endapan fibrin dapat menyebabkan terjadinya acute renal failure.
    • Hemolisis dapat terjadi karena adanya kerusakan mekanis pada sel darah merah sebagai akibat secunder dari deposit fibrin.
    • Pasien dapat mengalami fenomena neurologik karena adanya serangan iskemia pada otak. (Anonym, 2005)

D.         FAKTOR RESIKO
Kondisi yang dapat mempengaruhi komplikasi terjadinya DIC meliputi:
  • Infeksi, terutama septicemia, demam tifoid, demam Rocky-Mountain, dan infeksi parasit.
  • Keganasan, khususnya leukemia.
  • Trauma berat termasuk Crush syndrome dan kadang-kadang luka terbakar
  • Beberapa kelainan pada hubungan antar jaringan termasuk antiphospholipid syndrome.
  • Komplikasi dari kehamilan termasuk kelainan pada plasenta yakni solutio plasenta, emboli cairan amnion, dan hipertensi berat pada kehamilan yakni pre eklamsia. Ada juga kondisi yang disebut HELLP syndrome (hemolisis, elevated liver enzim, low platelets). Intra uterine fetal death yang lama cenderung lebih mengakibatkan terjadinya trombosis dibandingkan dengan keadaan perdarahan.
  • Transfusi darah yang incompatible.
  • Heat stroke.
  • Pemotongan aorta aneurysma
  • Kadang akibat gigitan ular (Hewish, 2005; Kellicker, 2005)

E.          ETIOLOGI
Penyebab DIC dapat dibedakan menjadi penyebab akut atau kronik, penyebab sistemik atau local. DIC dapat merupakan suatu hasil dari satu atau lebih kondisi yang terjadi.
DIC akut
§  Infeksi
-       Bakteri (contohnya sepsis akibat bakteri gram negative, infeksi bakteri gram positif, rikettsia)
-       Viral (contohnya HIV, citomegalovirus, varicella, hepatitis)
-       Fungi (contohnya hitoplasma)
-       Parasit (contohnya malaria)
§  Keganasan
-       Hematologi (contohnya akut mielositik leukemia)
-       Metastase (contohnya mucin-secreting adenocarsinoma)
§  Obstetrik
-       Solution plasenta
-       Emboli cairan amnion
-       Acute fatty liver pada kehamilan
-       eklamsia
§  Trauma
§  Terbakar
§  Kecelakaan Lalu Lintas
§  Terkena racun ular
§  Tranfusi
§  Reaksi hemolitik
§  Transfusi Masif
§  Penyakit hepar (acute hepatic failure)
§  Alat Bantu prostate
§  Shunt (Denver, LeVeen)
§  Alat Bantu ventrikel
§  Insufisiensi renal
DIC kronik
§  Keganasan
-       Tumor solid
-       leukemia
§  Obstetrik
-       Intra Uterine Fetal Death yang lama
-       Penahan produk konsepsi yang lama dalam rahim
§  Hematologik
-       Myeloproliveratif syndrome
-       Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
-       Giant cavernous haemangioma (Kasabach-Merritt syndrome)
§  Vaskular
-       Rheumatoid arthritis
-       Raynaud Disease
-       Trombosis vena atau emboli paru
§  Cardiovaskular – myocardial infarction
§  Penyakit jaringan yang berat
§  Penyakit ginjal kronik
§  Inflamasi
-       Colitis ulseratif
-       Crohn disease
-       Sarcoidosis
DIC Lokal
§  Aneurisma aorta
§  Giant hemangioma (Kasabach-Merritt Syndrome)
§  Acute Renal Allograft rejection
§  Sindrom hemolitik uremik (Furlong, 2006; Kellicker, 2005; Ngan, 2005; Wikipedia, 2006)
F.           PATOFISIOLOGI
Hemostasis dan pembekuan adalah serangkaian kompleks reaksi yang mengakibatkan pengendalian perdarahan melalui pembentukan bekuan trombosit dan fibrin pada tempat cedera. Pembekuan disusul oleh resolusi atau lisis bekuan dan regenerasi endotel. Pada keadaan homeostasis, homeostasis dan pembekuan melindungi individu dari perdarahan masif sekunder akibat trauma. Dalam keadaan abnormal, dapat terjadi perdarahan atau trombosis, dan penyumbatan cabang-abang vaskuler, yang dapat mengancam nyawa.
Pada saat cedera, ada tiga proses utama yang bertanggung jawab atas hemostasis dan pembekuan :
  1. vasokonstriksi sementara
  2. reaksi trombosit yang terdiri dari adhesi, reaksi pelepasan dan agregasi trombosit, dan
  3. pengaktifan faktor-faktor pembekuan
langkah-langkah permulaan terjadi pada permukaan jaringan yang cedera, dan reaksi-reaksi selanjutnya terjadi pada permukaan fosfolipid trombosit yang mengalami agregasi. (Price, 1995)

Trombosit

Trombosit atau platelet bukan merupakan sel, melainkan pecahan granular sel, berbentuk piringan dan tidak berinti. Trombosit adalah bagian terkecil dari unsur selular sumsum tulang dan sangat penting peranannya dalam hemostasis dan pembekuan. Trombosit berasal dari sel induk pluripotensial yang tidak terikat, yang bila dibutuhkan dan dengan adanya faktor perangsang trombosit (Mk-CSF [megakaryocyte Colony- Stimulating Factor] berdiferensiasi menjadi kelompok sel induk yang terikat untuk membentuk megakarioblas. Sel ini, melalui serangkaian proses pematangan menjadi megakariosit raksasa. Tidak seperti unsur sel lainnya, megakariosit mengalami endomitosis, dimana terjadi pembelahan inti dalam sel, tetapi sel itu sendiri tidak membelah. Sel dapat membesar karena sintesis DNA meningkat. Sitoplasma sel akhirnya memisahkan diri menjadi trombosit-trombosit. (Price, 1995)
Faktor-faktor pembekuan plasma

I.                   Fibrinogen : prekursor fibrin (protein polimer)
II.                Protombin : prekursor dari trombin enzim porteolitik dan mungkin akselerator-akselerator dari konversi protombin lain
III.             Tromboplastin : suatu lipoprotein jaringan aktivator dari protombin
IV.             Kalsium : diperlukan untuk pengaktifan protombin dan pembentukan fibrin
V.                Plasma ekselerator globulin : suatu faktor plasma yang mempercepat perubahan protombin menjadi trombin
VI.            
VII.          akselerator konversi protombin serum : suatu faktor serum yang mempercepat perubahan protombin
VIII.       globulin antihemolitik (AHG) : suatu faktor plasma yang berkaitan dengan faktor III trombosit dan faktor christmas (IX) mengaktifkan protombin
IX.             faktor christmas : faktor serum yang berkaitan dengan faktor III trombosit dan VIIIAHG; mengaktifkan protombin
X.                faktor Stuart-Power : suatu faktor plasma dan serum; akselerator konversi protombin
XI.             plasma tromboplastin antecedent (PTA) : suatu faktor plasma yang diaktifkan oleh faktor Hageman (XII); akselerator pembentukan trombin
XII.          Faktor Hageman : suatu faktor plasma; mengaktifkan PTA (XI)
XIII.       Faktor yang menstabilkan fibrin : faktor plasma; menimbulkan bekuan fibrin yang lebih kuat yang tidak larut dalam urea.
-                      Faktor Fletcher (prekalikrein) : faktor pengaktivasi kontak
-                      Faktor Fitzgerald (kininogen berat molekul tinggi) : faktor pengaktivasi kontak

Faktor-faktor Pembekuan

Faktor-faktor pembekuan, kecuali faktor III (tromboplastin jaringan) dan faktor IV (ion kalsium), merupakan protein plasma. Faktor-faktor ini bersirkulasi dalam darah sebagai molekul-molekul yang tidak aktif. Prekalikrein dan kininogen berat molekul tinggi, bersama-sama dengan faktor XI dan XII dinamakan faktor-faktor kontak. Pada saat cedera faktor-faktor kontak akan diaktifkan karena terjadi kontak pada permukaan jaringan. Setelah mereka terbentuk, mereka juga berperan dalam melarutkan bekuan. (Price, 1995)

Pengaktifan faktor-faktor pembekuan diduga terjadi karena enzim memecahkan fragmen bentuk prekursor yang tidak aktif, oleh karena itu dinamakan prokoagulan. Tiap faktor yang sudah diaktifkan, kecuali V, VIII, dan XIII, serta I (fibrinogen), adalah enzim pemecah protein (protease serin), sehingga mengaktifkan prokoagulan berikutnya. (Price, 1995)

Hati adalah tempat sintesis semua faktor pembekuan kecuali faktor VIII dan mungkin XI dan XIII. Vitamin K perlu untuk mempertahankan kadar normal dari faktor-faktor protombin darah atau sintesis faktor-faktor protombin (II, VII, IX, dan X). Bukti yang ada menunjukkan bahwa faktor VIII benar-benar merupakan molekul kompleks yang terdiri dari tiga subunit yang berbeda :
1.      bagian prokoagulan, mengandung faktor antihemofilia, VIIIAHG yang tidak dimiliki oleh penderita hemofilia klasik
2.      subunit lain mengandung tempat antigenik
3.      faktor Von Willebrand, VIIIVWF, yang diperlukan untuk adhesi pada dinding pembuluh. (Price, 1995)           

Fase-fase pembekuan

Pembekuan diawali oleh cedera vaskular dalam keadaan hemostasis. Vasokonstriksi adalh respon langsung terhadap cedera, yang diikuti oleh adhesi trombosit pada kolagen dinding pembuluh yang terkena cedera. ADP (adenosin difosfat) dilepaskan oleh trombosit, yang menyebabkan mereka mengalami agregasi. Sejumlah kecil trombin juga merangsang agregasi trombosit yang berguna untuk mempercepat reaksi. Faktor III trombosit, dari membran trombosit, juga mempercepat pembekuan plasma. Dengan cara ini, terbentuklah sumbat trombosit, yang kemudian segera diperkuat oleh protein filamentosa yang dikenal sebagai fibrin. (Price, 1995)

Produksi fibrin dimulai dengan perubahan faktor X menjadi Xa, sebagai bentuk aktif faktor X. Faktor X dapat diaktifkan melalui dua rangkaian reaksi. Rangkaian yang pertama memerlukan faktor jaringan, atau tromboplastin jaringan, yang dilepaskan oleh endotel pembuluh waktu cedera. Karena faktor jaringan tidak terdapat dalam darah, maka ia termasuk faktor ekstrinsik pembekuan, dari sini didapat nama jaras ekstrinsik bagi rangkaian ini. (Price, 1995)

Rangkaian lainnya yang mengaktifkan faktor X adalah jaras intrinsik, diberi nama tersebt sebab ia menggunakan faktor-faktor yang terdapat dalam sistem vaskular atau plasma. Dalam rangkaian ini terdapat reaksi ”air terjun”, pengaktifan salah satu prokoagulan akan mengaktifkan pengaktifan bentuk penerusnya. Jalan intrinsik diawali oleh keluarnya plasma atau kolagen melalui pembuluh yang rusak dan mengenai kulit. Faktor jaringan tidak diperlukan, tetapi trombosit yang melekat pada kolagen, sekali lagi memainkan peran. Faktor XII, XI dan IX harus diaktifkan secara berurutan, dan faktor VIII harus dilibatkan sebelum faktor X dapat diaktifkan. Zat prekalikrein dan kininogen berat molekul tinggi juga ikut serta, dan diperlukan ion kalsium. (Price, 1995)

Dari titik ini pembekuan berjalan sepanjang apa yang dinamakan jaras bersama. Pengaktifan faktor X terjadi sebagai akibat reaksi jaras ekstrinsik atau intrinsik. Pengalaman klinik menunjukkan bahwa kedua jalan tersebut ikut berperan pada hemostasis. (Price, 1995)

Langkah berikutnya yang menuju ke pembentukan fibrin berlangsung bila faktor Xa, dibantu oleh fosfolipid dari trombosit yang sudah diaktifkan memecahkan protombin, membentuk trombin. Selanjutnya trombin memecahkan fibrinogen membentuk fibrin (sejumlah kecil trombin nampaknya dicadangkan untuk memperbesar agregasi trombosit). Fibrin ini, yang mula-mula merupakan jeli yang dapat larut, distabilkan oleh faktor XIIIa dan mengalami polimerasi menjadi jaringan fibrin yang kuat, trombosit, dan menjerat sel-sel darah. Untaian fibrin kemudian memendek (retraksi bekuan), mendekatkan pinggir-pinggir dinding pembuluh yang cedera dan menutup daerah tersebut. (Price, 1995)

Resolusi Bekuan

Sistem fibrinolitik adalah rangakaian dimana fibrin dipecahkan oleh plasmin (juga dinamakan fibrinolisin) menjadi produk degradasi fibrin, mengakibatkan lisis bekuan. Diperlukan beberapa interaksi untuk mengubah protein plasma spesifik inaktif dalam sirkulasi menjadi enzim fibrinolitik aktif plasmin. Protein yang bersirkulasi, yang dikenal sebagai proaktivator plasminogen, dengan adanya kinase seperti streptokinase, stafilokinase, kinase jaringan, serta faktor XIIa, dikatalisasi menjadi aktivator plasminogen. Dengan adanya enzim-enzim lain seperti urokinase, maka aktivator-aktivator mengubah plasminogen, protein plasma yang sudah bergabung dalam bekuan fibrin, menjadi palsmin. Kemudian plasmin memecahkan fibrin dan fibrinogen menjadi fragmen-fragmen (produk degradasi fibrin-fibrinogen) yang mengganggu aktivitas trombin, fungsi trombosit, dan polimerisasi fibrin, mengakibatkan bekuan larut. Sistem monosit-makrofag dan leukosit juga memegang peranan pada fibrinolisis melalui aktivitas fagositiknya. (Price, 1995)
Patofisiologi dari DIC meliputi dimulainya proses koagulasi melalui perlukaan pada endotel atau karena perlukaan jaringan yang kemudian menghasilkan materi prokoagulan dalam bentuk sitokin dan faktor jaringan. Interleukin 6 dan faktor nekrosis tumor merupakan hal yang paling mempengaruhi masuknya sitokin ke dalam proses koagulasi dengan melalui faktor jaringan, dan merupakan faktor yang paling bertanggung jawab dalam hal kerusakan end organ yang mungkin terjadi. Lebih jauh lagi, pada sepsis, neutrofil dan produk yang dikeluarkan dapat menaikkan media trombosit pada formasi fibrin. (Furlong, 2006).
Dua enzim proteolitik, yakni trombin dan plasmin, bereaksi aktif secara sistemik. Keseimbangannya menentukan terjadinya perdarahan atau kecenderungan terjadi trombosis. Trombin memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer. Trombin akhirnya memungkinkan aliran koagulasi dan menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil dan sedang, yang hasilnya menyebabkan iskemik organ atau bahkan kerusakan organ. Mekanisme pengatur dari aliran koagulasi antara lain tissue factor pathway inhibitor (TFPI), antithrombin III, dan protein C aktif menyebabkan kerusakan yang luas. Plasmin, salah satu komponen sistem fibrinolitik, mampu menurunkan fibrin dalam produk degradasi yang terukur. Plasmin juga merupakan komplemen aktivasi. Plasmin dan trombin mempengaruhi secara kualitatif dan kuantitatif abnormalitas trombosit. (Furlong, 2006).
DIC akut memiliki karakteristik adanya perdarahan secara menyeluruh, yang dapat berupa petekiae hingga perdarahan eksangunasi atau trombosis mikrosirkulasi dan makrosirkulasi. Hal ini memacu terjadinya hipoperfusi, infark, dan kerusakan end organ. Pada kasus yang berat, pasien dapat mengalami demam dan memiliki gejala seperti syok yang ditandai dengan takikardi, takipneu, dan hipotensi. DIC kronik memiliki karakteristik adanya perdarahan subakut dan trombosis yang difus. DIC lokal dicirikan dengan perdarahan atau trombosis yang membatasi suatu lokasi anatomis spesifik. Ini berhubungan dengan adanya aneurisma aorta, giant hemangioma, dan hiperakut renal allograft rejection (Furlong, 2006).
Defisiensi factor plasma didapat dikaitkan dengan menurunnya pembentukan factor-faktor pembekuan, seperti yang ditemukan pada penyakit hati atau defisiensi vitamin K, atau peningkatan penggunaan pada DIC atau fibrinolisis. (Price, 1995)

Karena hati merupakan tempat utama sintesis factor-faktor II, V, VII, IX, dan X, maka kerusakan hati yang berat yaitu sirosis akan merubah respon hemostasis. Terdapat juga penurunan pembersihan hati dari faktor-faktor pembekuan yang sudah diaktifkan. Selain itu, terdapat gangguan sintesis faktor-faktor koagulasi yang bergantung pada vitamin K. Hipertensi portal pada penyakit hati mengakibatkan splenomegali kongestif yang disertai trombositopenia dan varises esofagus. Keadaan ini, bersama-sama dengan gangguan pembekuan dapat mengakibatkan perdarahan masif. PT, PTT, dan masa perdarahan semuanya memanjang. (Price, 1995)

Vitamin K yang diperoleh dari diet dan sintesis bakterial, diperlukan untuk sintesis faktor-faktor II, VII, IX, dan X. Pada kasus malnutrisi, malabsorpsi, atau sterilisasi saluran cerna oleh antibiotika, vitamin K berkurang secara nyata dengan akibat penurunan aktivitas biologis faktor-faktor pembekuan. Terapi perdarahan berat memerlukan penggantian faktor-faktor pembekuan dengan plasma beku segar (yang memberikan faktor-faktor II, VII, IX, dan X), vitamin K parenteral, dan penyembuhan proses penyakit yang mendasarinya. (Price, 1995)
G.         PATOGENESIS
Sindrom ini diawali dari masuknya materi atau aktivitas prokoagulan ke dalam sirkulasi darah. Ini dapat ditemukan pada setiap keadaan dimana tromboplastin jaringan dibebaskan karena terjadi perusakan jaringan, yang mengawali jalan pembekuan ekstrinsik. Karena plasenta banyak mengandung tromboplastin jaringan, maka salah satu penyebab DIC yang paling sering adalah solsio plasenta (pelepasan plasenta yang prematur). Keadaan ini menyebabkan tertahannya hasil-hasil konsepsi (plasenta, fetus) yang mengakibatkan nekrosis dan kerusakan jaringan lebih lanjut. Produk-produk tumor, luka bakar, cedera remuk, dan leukemia promielositik semuanya menyebabkan pelepasan tromboplastin. Awal jaras intrinsik juga terjadi bila prokoagulan intrinsik kontak dengan endotel pembuluh yang rusak seperti pada vaskulitis, sepsis, dan syok. Selama proses pembekuan, trombosit akan beragregasi dan bersama-sama dengan faktor-faktor pembekuan akan dipakai, sehingga jumlahnya berkurang. Hasil trombi fibrin dapat atau juga tidak menyumbat mikrovaskular. Bersamaan dengan ini sistem fibrinolisis diaktifkan untuk mencairkan trombi fibrin, menghasilkan banyak fibrin, dan dan produk degradasi fibrinogen, yang mengganggu polimerisasi fibrin dan fungsi trombosit. Akibatnya terjadi perdarahan difus yang merupakan ciri khas dari DIC. (Price, 1995)
Nekrosis jaringan, inflamasi, kerusakan trombosit dan sel darah merah, ataupun kerusakan endothelial yang dipengaruhi oleh antigen-antibodi atau endotoksin memicu proses koagulasi yang mana pada akhirnya menyebabkan terbentuknya suatu bekuan. secara simultan, system fibrinolitik juga turut terpengaruh. Plasmin, protease aktif pada proses fibrinolisis, menurunkan fibrinogen dan fibrin, memproduksi produk penghancur fibrin yang mencegah pertukaran polimerisasi fibrin. Plasmin juga dapat menurunkan factor koagulasi. Bagaimanapun, kecenderungan perdarahan pada pasien DIC adalah konsekuensi dari penurunan factor koagulasi dan trombosit dan juga sifat antikoagulan dari produk penghancur fibrin. (Newman, 1999)
Beberapa penelitian terbaru pada pasien DIC ternyata memberikan hasil bahwa banyak jalur patogenesis dari kelainan ini. Formasi sistemik dari fibrin dihasilkan dari prningkatan jumlah trombin, factor penekan fisiologi pada mekanisme antikoagulan, dan penundaan pindahnya fibrin sebagai konsekuensi dari perbaikan fibrinolisis. (Figure 2)
Pada kebanyakan respon dari inflamasi sistemik, kekacauan dari koagulasi dan fibrinolisis pada DIC diperantarai oleh beberapa sitokin pendukung terjadinya inflamasi. Mediator terkuat dari aktivasi koagulasi muncul untuk akhirnya menjadi interleukin-6. factor nekrosis factor secara tidak langsung mempengaruhi aktivasi koagulasi karena efeknya terhadap interleukin-6, dan itu merupakan mediator paling penting dari disregulasi jalur antikoagulasi fisiologi dan penurunan fibrinolitik. (Levi, 1999)Bottom of Form

Figure 2. Pathogenetic Pathways Involved in Disseminated Intravascular Coagulation.
Pada pasien dengan DIC, fibrin terbentuk sebagai akibat dari generasi trombin yang diperantarai oleh factor jaringan. Faktor jaringan, yang diperlihatkan pada permukaan dari aktivasi sel-sel mononuklear dan sel-sel endotelial, mengikat dan mengaktivasi faktor VII. Komplek dari faktor jaringan dan faktor VIIa dapat mengaktivasi faktor X secara langsung (ditunjukkan panah hitam) atau secara tidak langsung (ditunjukkan panah putih) dengan mengartikan faktor IX aktif dan faktor VIII. Aktivasi faktor X, yang dikombinasikan dengan faktor V, dapat merubah protombin (faktor II) menjadi trombin (faktor IIa). Ketiga arti fisiologi dari antikoagulasi, antitrombin III, protein C, dan faktor jaringan-jalur inhibitor, rusak secara bersamaan. Hasil dari formasi intravaskular fibrin tidak seimbang dengan pemindahan fibrin yang adekuat, karena terjadi penekanan fibrinolisis endogen oleh level plasma yang tinggi dari aktivator plasminogen inhibitor tipe 1 (PAI-1). Level yang tinggi dari PAI-1 menghambat aktivitas aktivator plasminogen dan konsekuensinya mengurangi kecepatan dari formasi plasmin. Kombinasi dari peningkatan formasi fibrin dan ketidakadekuatan  memusnahankan hasil fibrin pada DIC. FDPs menunjukkan Fibrin Degradasi Produk.


DIC terjadi saat monosit dan sel endothelial teraktivasi atau rusak oleh karena substansi racun yang rumit pada bagian dari penyakit yang sedang berlangsung. Respon dari monosit dan sel endothelial terhadap trauma adalah untuk menghasilkan factor jaringan pada permukaan sel, mengaktifkan aliran koagulasi (figure 1). Pada DIC akut, suatu generasi eksplosif dari trombin menurunkan factor pembekuan dan trombosit, dan juga mengaktifkan system fibrinolisis. Perdarahan pada jaringan subkutan, kulit, dan membrane mukosa terjadi, bersamaan dengan oklusi dari pembuluh darah disebabkan karena fibrin dalam mikrosirkulasi. (Messmore, 2002)
Pada DIC kronis, prosesnya sama, tapi terjadi eksplosif yang lebih sedikit. Biasanya ada waktu untuk respon kompensasi untuk terjadi, yang dapat mengurangi kemungkinan dari perdarahan, tapi memberikan kenaikan pada bagian hiperkoagulasi. Perubahan yang terjadi pada darah ini dapat terdeteksi dengan melakukan tes terhadap system koagulasi. 1-4 tromboembolisme terjadi pada keadaan ini,  dan saat antikoagulan oral diberikan mengikuti terapi heparin, ada kecenderungan untuk berulang. Terapi jangka panjang dengan heparin yang memiliki berat molekul rendah mungkin dapat menjadi solusi terhadap masalah ini sampai kasus yang mendasari dapat diatasi. (Messmore, 2002)

H.         TANDA DAN GEJALA
Pada dasarnya, semua gejala yang terjadi berkaitan dengan proses penyakit yang mendasari, mengetahui bagaimana asal mula dari hilangnya darah dan terjadinya hipovolemia, contohnya seperti perdarahan gastrointestinal. Perhatikan juga tanda dan gejala dari terjadinya trombosis pada pembuluh darah besar, seperti deep venous trombosis (DVT), dan juga trombosis pada mikrovaskular, seperti gagal ginjal. Perdarahan paling tidak terjadi dari tiga tempat yang tidak berhubungan terutama sekali mengarah pada DIC.
  • Epistaxis
  • Perdarahan gigi
  • Perdarahan mukosa
  • Batuk
  • Dyspnue
  • Bingung, disorientasi
  • demam
Gejala klinis:
  • Sirkulasi
    • Tanda dari perdarahan spontan dan perdarahan yang mengancam nyawa.
    • Tanda dari perdarahan subakut.
    • Tanda dari trombosis yang difus atau bersifat lokal.
  • Susunan syaraf pusat
    • Perubahan kesadaran yang tidak spesifik/stupor.
    • Defisit fokal biasanya tidak ditemukan.

  • Sistem kardiovaskular
    • Hipotensi
    • Takikardi
    • Kolaps sirkulasi
  • Sistem respirasi
    • Pergeseran pleura.
    • Tanda dari distress sindrom pernapasan pada orang dewasa.
  • Sistem gastrointestinal
    • Hematemesis
    • Hematochezia
  • Sistem Genitourinaria
    • Tanda dari azotemia dan gagal ginjal. 
    • Acidosis
    • Hematuria
    • Oliguria
    • Metrorrhagia
    • Perdarahan uterus
  • Sistem Dermatologi
    • Petechiae
    • Purpura
    • Bulla hemorrhagic
    • Sianosis akral
    • Nekrosis kulit pada organ bawah (purpura fulminan)
    • Infark lokal dan gangren
    • Perdarahan luka dan hematom subkutan
    • Trombosis (Furlong, 2006; Kellicker, 2005)
Acute DIC
Chronic DIC

  • Perdarahan multipel
  • Lebam pada kulit dan membran mukosa
  • Perdarahan interna 
  • Kurangnya suplai darah ke jaringan (iskemia) 
  • Onset yang tiba-tiba dari demam tinggi, lemas seluruh badan, purpura pada ekstremitas
  • Petechiae, papula, lepuh pada kulit yang berisi darah, jari tangan yang kebiruan
  • Trombosis vena dalam atau arteri atau bahkan emboli (pembekuan )
  • Trombosis vena superfisial, terutama tanpa varises vena 
  • Trombosis multipel pada berbagai tempat dalam waktu yang bersamaan 
  • Episode trombosis yang terjadi secara berseri 
(Ngan, 2005)

Purpura fulminans


Tanda dan gejala dari DIC meliputi penurunan kesadaran, pingsan, agitasi, mati rasa atau timbul rasa geli, sakit pada ekstremitas, berkurang atau bahkan tidak adanya pulsasi peripheral, pucat, ekstremitas lembab, perubahan EKG, angina, hipotensi, sianosis, takikardi, murmur jantung, disritmia, takipnue, dispnue, oligouria, adanya darah atau protein pada urin, berkurang atau tidak adanya bising usus, nyeri perut, burik pada kulit, memar, hematom, petechiae, purpura, keluarnya darah dari bagian yang terluka, insisi, dan membran mukosa, muntah darah, perdarahan hidung atau batuk darah. (Gwenllian, 2002; anonym, 2003; anonym, 2004)
Formasi Bekuan Darah
Penjendalan darah normalnya terjadi bila ada kerusakan pada pembuluh darah. Trombosit, yang mana dihasilkan dari fragmen sel darah putih, langsung bereaksi melekat pada tepi pembuluh darah dan melepaskan suatu bahan untuk menarik lebih banyak trombosit. Suatu sumbat trombosit terbentuk dan perdarahan luar terhenti. Berikutnya, molekul kecil yang disebut faktor pembekuan, yang menyebabkan helaian yang memuat material darah, disebut fibrin, untuk bekerja bersamaan dan menutup bagian dalam dari luka yang terjadi. Meskipun begitu, penyembuhan luka terjadi dan bekuan darah akan hancur dalam beberapa hari. (Grund, 2004)
I.             DIAGNOSIS DIC
Diagnosis yang biasa ditemukan pada DIC dapat dilihat pada tabel berikut ini. Hasil pemeriksaan klinis dan laboratoris pada DIC akut berbeda dengan yang ditemukan pada DIC kronis. Hal tersebut merupakan suatu aturan umum, bagaimanapun, pada DIC kronik yang disebabkan oleh sindrom kematian janin dalam rahim dan kelainan vaskular tertentu, contohnya aneurisma aorta, dapat menunjukkan suatu koagulasi yang abnormal yang biasanya ditemukan pada DIC akut.
Table 2. Penemuan klinis dan laboratoris pada DIC

Acute DIC
Penemuan Klinis
  • Perdarahan multipel 
  • Ekimosis pada kulit dan membran mukosa 
  • Hemoragia visceral
  • Iskemia jaringan
Abnormalitas hasil laboratorium
  • Abnormalitas koagulasi : Pemanjangan waktu protombin, aktivasi waktu tromboplastin partial, waktu trombin, penurunan angka fibrinogen, peningkatan angka Fibrin Degradasi Produk/FDP (pada saat dilakukannya tes untuk FDP, D dimer) 
  • Angka trombosit menurun secara perlahan atau bisa juga secara mendadak dari angka yang tinggi atau normal.
  • Schistosit pada apusan periperal 
Chronic DIC
Penemuan klinis
  • Tanda dari trombosis atau emboli pada arteri atau vena profunda 
  • Trombosis vena superfisial, biasanya tanpa varises vena 
  • Trombosis multipel pada berbagai tempat dalam waktu yang bersamaan 
  • Episode trombosis secara seri
Abnormalitas laboratorium
  • Peningkatan waktu protombin secara sederhana pada beberapa pasien 
  • Pemendekan atau pemanjangan waktu tromboplastin parsial 
  • Waktu trombin normal pada kebanyakan pasien 
  • Angka fibrinogen bisa tinggi, rendah, atau bahkan normal 
  • Peningkatan angka fibrin Degradation Product (FDP)
  • Fakta dari ditemukannya penanda molekular* (contohnya komplek trombin-antitrombin, penanda aktivasi dari membran trombosit, fragmen protombin F1+2) 
DIC, disseminated intravascular coagulation; FDP, fibrin-fibrinogen degradation products.
*These tests are used primarily in research.

Diagnosis dari DIC akut dapat ditegakkan tanpa harus disertai semua hasil dari tes laboratorium yang kita ketahui memiliki nilai abnormal yang biasa ditemukan pada kebanyakan kasus. Hal ini terutama benar apabila kriteria klinis yang didapatkan sesuai dengan DIC dan juga tes rutin (contohnya, angka trombosit, waktu protombin, waktu tromboplastin parsial, level fibrinogen) ditemukan abnormal. Kelainan seperti insuficiensi hepar, hekrosis hepar, dosis berlebihan antikoagulan, dan kehadiran dari beberapa antikoagulan dalam sirkulasi dapat juga menjadi pertimbangan pada diagnosa banding, terutama saat dimana tidak ada penyakit yang jelas mendasari untuk terjadinya DIC. (Messmore, 2002)
Beberapa tes laboratorium yang lain juga berhubungan dengan DIC, termasuk pemanjangan waktu trombin, dan penurunan antitrombin III, protein C, plasminogen, dan alfa2-antiplasmin. Bagaimanapun juga, kesamaan dari abnormalitas ini dapat terlihat pada penyakit hati yang berat, dan juga pada perdarahan hebat yang dikarenakan kehilangan plasma. Salah satu tes sistem koagulasi yang dapat membantu membedakan antara DIC dan penyakit hati adalah D dimer. Ters ini biasanya negatif pada penyakit hati kecuali bila terjadi nekrosis secara masif, yang mana dapat menyebabkan DIC. (Messmore, 2002)
Tes laboratorium yang lain yang dapat menjadi petunjuk DIC kronis adalah pemendekan wakru tromboplastin parsial teraktivasi. Angka trombosit dapat normal, tinggi, atau bahkan rendah. Ada kalanya, angka trombosit dapat naik dengan adanya terapi heparin, dan menjadi turun saat hepatin dihentikan pada saat munculnya hiperkoagulasi atau DIC kronis. (Messmore, 2002)
Bila hanya ada satu hasil tes laboratorium, maka tidak dapat ditegakkan diagnosis dari DIC. Bagaimanapun, suatu kombinasi dari hasil tes pada pasien dengan kondisi klinis yang ada kaitannya dengan DIC dapat digunakan untuk mendiagnosa kelainan ini dengan alasan yang tepat pada kebanyakan kasus. Pada penerapannya, adanya kelainan dapat didiagnosa sebagai dasar dari kelainan yang ditemukan ; penyakit yang mendasari diketahui berhubungan dengan DIC; angka trombosit yang kurang dari 100.000 per mm3 atau penurunan yang tidak beraturan pada perhitungan angka trombosit; pemanjangan waktu penjendalan, contohnya waktu protombin dan waktu tromboplastin parsial teraktivasi; ditemukannya fibrin degradation product dalam plasma, dan level plasma yang rendah dari penghambat koagulasi contohnya antitrombin III. (Levi, 1999)
Angka trombosit yang rendah, dan terutama sekali, penurunan secara progresif terhadap angka trombosit sangat sensitif, walaupun tidak spesifik, tanda dari DIC dan dapat merupakan indikasi terjadinya aktivasi yang mepengaruhi thrombin atau penggunaan trombosit. Pemanjangan waktu pembekuan dapat mencerminkan penurunan faktor koagulasi, suatu kemungkinan yang dapat diperkuat dengan ukuran dari satu atau dua faktor koagulasi terpilih. Ukuran dari faktor koagulasi plasma dapat menyatakan abnormalitas koagulasi, contohnya defisiensi dari vitamin K. (Levi, 1999)
Ukuran dari plasma fibrinogen hampir selalu diajurkan, tapi tingkat plasma fibrinogen biasanya berada pada kisaran normal meskipun terjadi aktivitas koagulasi yang amat sangat, karena protein ini pada fase akut beraksi. Faktanya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penemuan dari hipofibrinogemia secara diagnostik sangat bermanfaat pada kasus DIC yang sangan berat. Ukuran dari ihibitor koagulasi terpilih, termasuk antitrombin III atau protein C, dapat memberikan informasi prognosis yang berguna. Tes untuk fibrin degradation product atau D dimer dapat membantu untuk membedakan DIC dengan kondisi lain yang berhubungan dengan rendahnya angka trombosit atau pemanjangan waktu pembekuan. (Levi, 1999)
Sangatlah sulit untuk membedakan antara penyakit hati berat dengan DIC, sejak kedua kondisi tersebut memiliki karakteristik abnormalitas laboratorium yang sama. Penemuan yang tidak langsung seperti adanya hipertensi portal, yang merupakan indikasi pada penyakit hati, atau kondisi yang mendasari yang diketahui berhubungan dengan DIC dapat membantu dalam membedakan dua kelainan tersebut. Begitu juga, hasil koagulasi abnormal dari penyakit hati tanpa komplikasi biasanya akan berangsur stabil daripada menjadi lebih buruk secara progresif. Pada pasien dengan DIC, apusan darah dapat mengandung sistosit, dan hasil analisis histologi dari biopsi jaringan organ dapat menyatakan deposisi fibrin pada pembuluh darah kecil atau sedang (figure 3). (Levi, 1999)
Lebih khusus lagi, tapi tidak tersedia secara umum, terlaboratorium yang sangat berguna dalam menegakkan diagnosis DIC termasuk ukuran dari fibrin yang dapat dilarutkan dan pengujian kadar logam yang sensitif yang dapat mengukur generasi dari trombin, seperti pengujian kadar logam untuk mendeteksi fragmen aktivasi protombin F1+2 atau komplek trombin-antitrombin. Sensitifitas dan spesifisitas dari pengujian kadar logam ini untuk menegakkan diagnosa DIC mencapai 80-90%, tapi walaupun hal tersebut sangat membantu dalam situasi klinis yang cukup sulit, namun hal tersebut tidak biasa diterapkan dalam praktek klinis. (Levi, 1999)
Bottom of Form


Figure 3. Blood Smear (Panel A) and Kidney-Biopsy Specimen (Panel B) from a Patient with Disseminated Intravascular Coagulation.
Pada panel A, panah menunjukkan tipe sel darah merah terfragmen (schistosit). Pada panel B, fibrin intravaskular terdapat dalam arteriola kecil ditunjukkan dengan panah. (Panel A : hematoxylin dan eosin, 500x; Panel B: Jones methenamine silver, 300x)
DIC adalah suatu kondisi yang sangat kompleks yang sangat sulit untuk didiagnosa. Tidak ada single test yang dapat digunakan untuk mendiagnosa DIC. Pada beberapa kasus, beberapa tes yang berbeda yang dilakukan pada suatu periode waktu mungkin diperlukan untuk mendapatkan diagnosis yang akurat. (Dana, 2005)
Seorang profesional di bidang kesehatan dapat menduga diagnosa DIC pada seseorang dengan gejala perdarahan atau penggumpalan yang banyak. Tes darah untuk mengukur angka trombosit dan substansi lainnya (contohnya protombin dan fibrinogen) yang mempengaruhi penggumpalan darah dapat membantu untuk memastikan diagnosis. (Dana, 2005)
Tes yang dapat membantu dalam menegakkan diagnosis DIC meliputi :
§  D-dimer
D-dimer adalah antigen yang dihasilkan dari lisisnya plasmin dari penjendalan fibrin. Adanya fragmen ini sebagai dokumentasi adanya trombin (rantai silang) dan plasmin (fibrinolisis). Tes darah ini membantu menentukan apakah pembekuan darah pada pasien normal melalui perhitungan substansi fibrin yang dihasilkan sebagai penghancur jendalan darah. Hasil tes D-dimer biasanya lebih tinggi dai normal pada orang yang memiliki penjendalan darah yang abnormal. Tes antibodi monoklonal ini memiliki spesifisitas yang sangat baik dan merupakan tes yang sangat bermakna dalam diagnosis DIC.
§  Protombin Time (PT/INR)
Protombin time adalah tes ekstrinsik dan merupakan jalur yang biasa digunakan. Tes darah ini mengukur berapa lama darah mengalami pembekuan hingga menjadi gumpalan. Sedikitnya, selusin protein darah atau faktor pembekuan dibutuhkan untuk menjendalkan darah dan menghentikan perdarahan (koagulasi). Protombin, atau faktor II, adalah salah satu dari banyak faktor pembekuan yang diproduksi oleh hepar. Waktu protombin yang lama dapat merupakan indikasi adanya DIC. Tapi dari sumber lain juga disebutkan bahwa protombin time dapat normal, memanjang, atau bahkan memendek pada DIC. Secara umum, tes ini tidak begitu dapat dipercaya untuk mendiagnosis DIC, dan 50-75% pasien memiliki hasil pemanjangan protombin time.
§  Darah Lengkap
Perhitungan darah lengkap diperoleh dengan mengambil sampel darah dan perhitungan sel darah merah dan sel darah putih. Hasil dari perhitungan darah lengkap tidak dapat mendiagnosa suatu penyakit, tapi dapat memberikan informasi untuk membantu dokter menegakkan suatu diagnosis.
§  Darah apus
Pada tes ini, setetes darah dibuat apusan pada slide dan diberi suatu pewarnaan khusus. Lalu slide tersebut dinilai di bawah mikroskop. Angka, ukuran, dan bentuk dari sel darah merah, sel darah putih, trombosit dapat dicatat. Sel darah biasanya terlihat rusak dan abnormal pada pasien dengan DIC. (Dana, 2005)
§  Fragmen 1 dan 2 protombin
Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) mengukur tingkat banyaknya fragmen protombin 1 dan 2 pada sirkulasi. Ini menunjukkan fakta dari generasi faktor Xa dan ini mudah dilakukan. Angkanya biasanya abnormal pada 90% pasien dengan DIC
§  Level antitrombin III
Tingkat fungsional antitrombin III menurun pada DIC. Pengujian kadar logam sintetik ini bermanfaat untuk diagnosis dan monitoring terapi.
§  Produk degradasi fibrin dan fibrinogen
Tes aglutinasi partikel latex digunakan untuk mendeteksi produk pendegradasi fibrin dan fibrinogen (FDP). Produk penghancur ini meningkat sebagai plasmin penghancur biologis fibrinogen dan fibrin. Tes ini tidak sebagai diagnosis dari DIC, dimana terjadi peningkatan 85-100% pada pasien.
§  Fibrinopeptide A
ELISA atau radioimmunoassay digunakan untuk mengukur fibrinopeptide A (FPA). FPA adalah produk penghancuran dari fibrinogen, sebagai indikasi dari aktivitas trombin. Angkanya abnormal pada 88% pasien dengan DIC.
§  Angka trombosit
Angka trombosit selalu menurun. Hal ini biasanya dibuktikan pada pemeriksaan apusan darah tepi. Penurunan fungsi platelet biasanya juga terjadi.
§  Fibrinogen
Waktu trombin, perdaraskan pengukuran kadar logam biasa digunakan untuk mengukur tingkat fibrinogen. Biasanya menurun pada DIC. Fibrinogen adalah reaktor dari fase akut dan pada permulaannya dapat meninggi secara tidak langsung karena penyakit primer.
§  Activated Partial Tromboplastin Time
Activated partial tromboplastin time (aPTT) mrupakan tes intrinsik dan merupakan jalur yang lazim dilakukan. Hasilnya tidak dapat diprediksikan pada pasien DIC. Tes ini kurang dapat dipercaya untuk diagnosis DIC, dan 50-60% dari pasien memiliki hasil terjadi pemanjangan aPTT.
§  Trombin time
Trombin time mengukur perubahan dari fibrinogen menjadi fibrin. Biasanya terjadi pemanjangan trombin time pada pasien DIC.

§  Tes protamin
Tes protamin adalah suatu tes parakoagulasi yang mendeteksi fibrin monomer dalam plasma. Formasi benang fibrin menjadi indikasi hasil yang positif. Tes ini harus positif pada pasien dengan DIC.
§  Penurunan faktor koagulasi
Terjadi penurunan faktor koagulasi, yakni faktor V, VIII, X, XIII, dan protein C pada pasien DIC.
§  Hemoglobinuria
§  Hematuria
§  Hematochezia
Tidak ada single tes yang dapat menegakkan diagnosis DIC. Dugaan DIC pada mulanya dikarenakan adanya kombinasi dari beberapa pemeriksaan, yakni kondisi klinis yang terkait dengan DIC, trombositopenia (<1000x109/L), pemanjangan protombin time dan activated partial trombin time (PT dan aPTT), dan adanya produk penghancur fibrin (FDP) atau juga D-dimer. Hasil tes lainnya yang tertera di atas juga dapat membantu untuk menentukan DIC.
  • dasar dari diagnosis imaging pada proses patologis yang mendasari sama halnya dengan kecurigaan pada area yang mengalami trombosis atau perdarahan.
  • Akan menunjukkan radiografi dada dengan densitas halus perihilar yang bilateral jika terjadi kerusakan pulmonal.
Tes Lain:
  • dasar dari diagnosis imaging pada proses patologis yang mendasari sama halnya dengan kecurigaan pada area yang mengalami trombosis atau perdarahan.
Prosedur:
  • prosedur dasar pada proses patologis yang mendasari sama halnya dengan kecurigaan pada area yang mengalami trombosis atau perdarahan.
  • Prosedur invasif harus dilakukan dengan hati-hati karena adanya komplikasi perdarahan. Prosedur harus diikuti dengan administrasi dari faktor pembekuan dan pemenuhan trombosit. (Furlong, 2006)
Penemuan laboratoris
A. Subacute DIC
1. Thrombositopenia
2. Normal atau pemanjangan aPT
3. Pemendekan aPTT
4. penurunan fibrinogen, yang memiliki nilai normal 200-499 mg/dl (Nanda, 2005)
5. Peningkatan produk pemisahan fibrin
B. Acute DIC
1. Thrombositopenia, nilai normalnya 150.000-400.000/mm3 (Nanda, 2005)
2. Pemanjangan aPT dan aPTT yang mencolok (lebih dari 200 detik) karena insufisiensi sekunder dari fibrinogen. Normalnya aPT 11-13,5 detik, sedangkan normalnya aPTT  25-35 detik. (Nanda, 2005)
3.  Angka yang sangat tinggi pada D-dimer dan produk pemecah fibrin.
4. Angka yang rendah dari faktor pembekuan spesifik. (anonym, 2005; kellicker, 2005)
J. PENATALAKSANAAN
Landasan dari manajemen DIC adalah terapi penyakit yang mendasarinya. Terapi terhadap DIC tanpa terapi terhadap penyakit yang mendasari akan mengarah pada kegagalan. Pengukuran suportif dapat berguna, walaupun dasar yang kuat yang mana merupakan manajemen dasar sangatlah langka, dan tidak ada penelitian yang menyampaikan terapi optimal atau strategi suportif. Pasien dengan DIC yang mengalami perdarahan difus dari berbagai tempat pada saat yang hampir bersamaan akan memerlukan terapi suportif yang berbeda dari apa yang diperuntukkan pada pasien dengan sumbatan trombotik pada pembuluh darah dan kerusakan multiorgan yang terjadi sesudah itu. (Levi, 1999)
Perawatan ditujukan pada mekanisme yang mendasari. Perawatan mungkin memerlukan penggunaan antibiotika, agen-agen kemoterapeutik, dukungan kardiovaskular, dan pada peristiwa retensio plasenta, isi uterus dikeluarkan. Penggantian faktor plasma dengan plasma kriopresipitat, serta transfusi trombosit dan sel darah merah mungkin diperlukan. Bila terjadi perdarahan yang hebat, peranan heparin, suatu antitrombin yang kuat, masih sangat kontroversial. Heparin menetralkan aktivitas trombin dan dengan demikian menghambat penggunaan faktor-faktor pembekuan dan pengendapan fibrin. Meningkatkan konsentrasi faktor-faktor pembekuan dan trombosit dengan memberikan infus plasma dan trombosit akan menghambat diatesis perdarahan. Heparin merupakan indikasi jika terapi penggantian tidak dapat meningkatkan faktor-faktor pembekuan dan perdarahan masih terus berlangsung. Heparin juga diindikasikan pada keadaan dimana terjadi pengendapan fibrin akibat nekrosis dermal. Heparin dosis rendah sudah digunakan dengan sukses bersama-sama dengan agen kemoterapeutik pada pengobatan leukemia promielositik, untuk mencegah DIC sekunder akibat pelepasan tromboplastin oleh granula leukosit. (Price, 1995)

Antikoagulan
Secara teori, interupsi dari koagulasi dapat merupakan suatu keuntungan pada pasien dengan DIC. Tentu saja, studi eksperimental sudah menunjukkan bahwa heparin dapat menghambat secara parsial aktivasi dari koagulasi yang mana berkaitan dengan sepsis atau penyebab lainnya. Profilaksi yang adekuat juga dibutuhkan untuk mengurangi faktor resiko dari tromboemboli vena. Heparin juga sudah dibuktikan memiliki efek yang menguntungkan pada studi tanpa kontrol yang dilakukan pada pasien DIC, namun tidak pada studi yang dilakukan  secara clinical controlled trials. Walaupun keamanan heparin pada pasien dengan DIC masih diperdebatkan, studi klinis tidak menunjukkan bahwa terapi dengan heparin meningkatkan terjadinya komplikasi perdarahan secara signifikan. Diberikan secara bersamaan, penemuan ini menunjukkan bahwa heparin sangat mungkin berguna pada pasien dengan DIC, terutama sekali pada mereka yang secara klinis jelas mengalami tromboembolisme atau endapan fibrin yang luas yang ditunjukkan dengan adanya purpura fulminan atau iskemia pada akral. Pasien dengan DIC biasanya diberikan dosis heparin yang relatif rendah (300-500 U tiap jam) sebagai pemasukan yang berkala. Heparin dengan berat molekul rendah juga dapat digunakan sebagai alternatif dari heparin yang belum terpecah. (Levi, 1999)
Novel, antitrombin III-inhibitor independen dari trombin, seperti desirudin dan komponen senyawa yang terkait, mungkin lebih efektif daripada heparin, dan studi eksperimentalnya memiliki hasil yang menjanjikan. Bagimanapun, belum ada controlled clinical trial dari obat ini pada pasien dengan DIC, dan resiko perdarahan yang relatif tinggi yang berhubungan dengan penggunaan senyawa ini masih merupakan faktor pembatas. (Levi, 1999)
Trombosit dan Plasma
Angka yang rendah dari trombosit dan juga faktor koagulasi dapat menyebabkan perdarahan serius atau meningkatkan resiko perdarahan pada pasien yang memerlukan prosedur invasif. Pada beberapa pasien, kemanjuran terapi dengan menggunakan konsentrat trombosit dan plasma ditunjukkan secara jelas. Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan dari penggunaan profilaksi dari trombosit atau plasma pada pasien dengan DIC yang tidak mengalami perdarahan atau tidak memiliki resiko perdarahan yang tinggi. Hal ini dapat memungkinkan bagi penatalaksana volume yang cukup besar dari plasma (lebih dari 6 unit tiap 24 jam), untuk memperbaiki defek atau kerusakan dari koagulasi. Terapi dengan menggunakan konsentrat faktor koagulasi dapat mengatasi kebutuhan pemasukan yang banyak akan plasma, tapi penggunaannya pada pasien dengan DIC secara umum tidak dianjurkan karena konsentrat tersebut dapat saja terkontaminasi oleh sedikit faktor koagulasi teraktivasi, yang dapat mengeksaserbasi kelainan koagulasi. Selain itu, konsentrat ini hanya terdiri dari faktor koagulasi yang sudah terpisah, dimana pasien dengan DIC biasanya memiliki kekurangan dari semua faktor koagulasi. (Levi, 1999)
Konsentrasi dari inhibitor koagulasi
Pemulihan jalur fisiologis dari antikoagulasi merupakan tujuan yang tepat dari terapi. Antitrombin III adalah salah satu inhibitor alami yang paling penting untuk koagulasi, dan pasien dengan DIC hampir tanpa kecuali memiliki defisiensi antitrombin yang didapat. Penatalaksanaan dari inhibitor ini pada consentrasi suprafisiologi mengurangi angka kematian yang berkaitan dengan sepsis pada hewan. Beberapa clinical controlled trial, hampir semua pasien dengan sepsis atau syok sepsis, menunjukkan efk yang menguntungkan dalam masa perbaikan dari DIC dan terkadang turut memperbaiki fungsi organ. Pada penelitian yang lebih baru, dosis tinggi dari konsentrat antitrombin III (lebih dari 150% dari normal), dan efek yang menguntungkan dari penelitian ini semakin jelas terlihat. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan yang sederhana dalam kematian pada pasien yang diterapi dengan antitrombin III, tapi efek ini tidak mencapai angka statistik yang signifikan. (Levi, 1999)
Suatu penelitian meta analisis dengan metode studi adekuat menunjukkan suatu penurunan dari kematian dari 56 persen menjadi 44 persen. Saat ini, randomisasi yang luas, penelitian multicenter terkontrol singan dosis suprafisiologis dari antitrombin III pada pasien dengan sepsis sudah mulai dilaksanakan, dan hasil dari penelitian ini akan membantu untuk memutuskan tempat dari terapi antitrombin III pada sepsis dan DIC. Pada waktu yang dimaksudkan, terapi dengan antitrombin III dapat digunakan sebagai pilihan terapi suportif pada pasien dengan DIC berat, meskipun harga substansi dari terapi ini akan menjadi faktor yang menghambat. (Levi, 1999)
Agen Antifibrinolitik
Terapi antifibrinolitik efektif pada pasien dengan perdarahan, tapi penggunaan sedian ini pada pasien dengan DIC tidak direkomendasikan. Sejak terjadi deposisi fibrin terlihat sebagai bagian dari insufisiensi fibrinolisis, penghambatan yang lebih jauh dari sistem fibrinolisis bukanlah solusi yang tepat. Pengecualian dapat dilakukan pada kasus dimana pasien mengalami hiperfibrinolisis primer atau sekunder, contohnya pada mereka yang mengalami koagulopati yang berhubungan dengan leukemia promielositik dan beberapa pasien dengan DIC yang berhubungan dengan kanker. Pada beberapa pasien, terapi antifibrinolitik dapat mengontrol koagulopati. (Levi, 1999)

Terapi harus mendekati cara-cara yang logis dan sistematis. Uluran yang paling penting melibatkan pemusnahan dari faktor pendorongnya. Saat hal tersebut tidak mungkin dilakukan, terapi yang spesifik dapat merupakan indikasi. Terapi cairan digunakan untuk memperbaiki hipovolemia, mencegah atau mengurangi stasis vaskular dan dilusi dari trombin, FDP dan aktivator fibrinolisis. Obat untuk menghambat koagulasi merupakan indikasi jika pasien tersebut mengalami manivestasi perdarahan secara langsung, trombosis atau disfungsi organ. Heparin menguatkan aksi dari plasma antitrombin III. Bila terjadi perdarahan pada pasien DIC, penggantian dari beberapa atau semua komponen darah merupakan indikasi untuk melengkapi lagi faktor koagulasi yang berkurang dan juga trombosit. Transfusi plasma merupakan pilihan, tapi darah lengkap dapat diberikan jika dibutuhkan juga penambahan jumlah sel darah merah. Transfusi sel darah merah membawa resiko terjadinya hemolisis dan eksaserbasi dari DIC.
Kembalinya normal dari koagulogram screening (PT, APTT, dan FDP) biasanya menunjukkan kesuksesan terapi. Kembali normalnya konsentrasi fibrinogen merupakan indikator yang dapat dipercaya pada terapi heparin jangka panjang. (Newman, 1999)
Terapi harus berdasarkan pada etiologi dan keuntungannya dalam menyingkirkan penyakit yang mendasari. Terapi harus disesuaikan dengan umur pasien, penyakit, dan keparahan serta lokasi dari perdarahan atau trombosis. Terapi untuk DIC akut meliputi antikoagulan, komponen darah, dan antifibrinolitik. (Levi, 1999)
Hemostatik dan parameter koagulasi harus dimonitor secara berkala selama terapi dilakukan. Dasar keputusan terapi yakni dari evaluasi klinis dan laboratoris dari hemostasis. Pada kasus DIC ringan, terapi lain selain terapi suportif tidak diperlukan atau biasanya menyertakan agen antitrombosit atau heparin subkutan. Keputusan terapi harus berdasarkan pada evaluasi klinis dan laboratoris dari hemostasis. Protein C manusia teraktivasi ditunjukkan untuk mengurangi angka kematian pada kasus sepsis yang berat untuk pasien dengan resiko kematian tinggi, dimana harus digunakan secara tepat dan bekesinambungan, mengikuti prosedur penggunaan yang berlaku. (Levi, 1999)




K.          PROGNOSIS
Prognosis dari DIC sangat dipengaruhi oleh kondisi yang mendasari yang menyebabkan DIC dan juga dipengaruhi seberapa beratnya DIC yang terjadi. (Furlong, 2006)








BAB III
KESIMPULAN

DIC adalah sindrom multifaset, sindrom kompleks dimana homeostatik normal dan sistem fisiologik yang mempertahankan darah agar tetap cair berubah menjadi sistem yang patologiksehingga terjadi trombi fibrin yang menyumbat mikrovaskular dari tubuh. System fibrinolitik yang teraktivasi ini mengakibatkan terjadinya perdarahan yang difus.  DIC bukanlah penyakit, tapi merupakan akibat dari hal lain yang mendasarinya. DIC dapat mempengaruhi suplai darah ke organ tubuh, menyebabkan disfungsi dan kerusakan organ. Perdarahan secara besar-besaran dapat terjadi karena kurangnya factor pembekuan dan trombosit pada tubuh.
Aktivasi sistemik dari koagulasi menyebabkan perubahan deposisi intravascular dari fibrin dan penipisan jumlah trombosit dan juga factor koagulasi. Sebagai hasilnya, terjadi trombosis pada pembuluh darah sedang dan kecil, yang berpengaruh pada kerusakan organ, dan dapat menyebabkan perdarahan hebat.
Karena plasenta banyak mengandung tromboplastin jaringan, maka salah satu penyebab DIC yang paling sering adalah solsio plasenta (pelepasan plasenta yang prematur). Keadaan ini menyebabkan tertahannya hasil-hasil konsepsi (plasenta, fetus) yang mengakibatkan nekrosis dan kerusakan jaringan lebih lanjut.
Penyebab DIC dapat dibedakan menjadi penyebab akut atau kronik, penyebab sistemik atau local. DIC dapat merupakan suatu hasil dari satu atau lebih kondisi yang terjadi.
Manifestasi klinisnya tergantung dari luas dan lamanya pembentukan trombi fibrin, organ-organ yang terlibat, dan nekrosis serta perdarahan yang ditimbulkan. Organ-organ yang paling sering terlibat adalah ginjal, otak, hipofise, paru-paru, dan adrenal, dan mukosa saluran cerna. Semua gejala yang terjadi berkaitan dengan proses penyakit yang mendasari.
Diagnosis dari DIC akut dapat ditegakkan tanpa harus disertai semua hasil dari tes laboratorium yang kita ketahui memiliki nilai abnormal yang biasa ditemukan pada kebanyakan kasus. Hal ini terutama benar apabila kriteria klinis yang didapatkan sesuai dengan DIC dan juga tes rutin. Tidak ada single test yang dapat digunakan untuk mendiagnosa DIC.
Landasan dari manajemen DIC adalah terapi penyakit yang mendasarinya. Terapi terhadap DIC tanpa terapi terhadap penyakit yang mendasari akan mengarah pada kegagalan.
Prognosis dari DIC sangat dipengaruhi oleh kondisi yang mendasari yang menyebabkan DIC dan juga dipengaruhi seberapa beratnya DIC yang terjadi.












DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2003, Dissemninated Intravascular Coagulation, http://www.merck.com.htm
Anonim, 2005, An Introduction to DIC, http://www.dicsepsis.org
Anonim, 2005, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), http://www.medicineonline.com.htm
Anonim, 2005, Disseminated Intravascular Coagulation, http://www.medinfo.ufl.edu
Anonim, 2005, Disseminated Intravascular Coagulation, U. S. National Library of Medicine, http://www.tjsamson.client.web-health.com
Anonim, 2006, Disseminated Intravascular Coagulation, GNU Free Documentation License, http://www.en.wikipedia.org
Anonim, 2006, Nursebob’s MICU/CCU Survival Guide Hematology in Critical Care Disseminated Intravascular Coagulation, http://www.rnbob.tripod.com
Dana, Douglas., 2005, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), http://www.bchealthguide.org.htm
Furlong, Mary A., 2005, Disseminated Intravascular Coagulation, WebMD, http://www.emedicine.com.htm
Grund, Stephen., 2004, Medical Encyclopedia: Blood Clot Formation, http://www.medlineplus.com
Gwenllian, 2002, Disseminated Intravascular Coagulation, http://www.everything2.com
Hewish, Paul., 2005, Disseminated Intravascular Coagulation, http://www.patient.co.uk
John, Thomas., Davis, Ian D., 2005, Ventricular Metastasis Resulting in Disseminated Intravascular Coagulation, World Journal of Surgical Oncology, http://www.wjso.com
Kellicker, Patricia Griffin., 2005, Dissemniated Intravascular Coagulation (DIC, Consumption Coagulopathy, Defibrination Syndrome), http://www.healthlibrary.epnet.com
Levi, Marcel., 2004, Current Understanding of Disseminated Intravascular Coagulation, BJH review, http://www. staff.washington.edu
Levi, Marcel., ten Cate, Hugo., 1999, Disseminated Intravascular Coagulation, the New England Journal of Medicine, http://www.content.nejm.org
Messmore, Harry L., Wehrmacher, William H., 2002, Disseminated Intravascular Coagulation; A primer for primary care physicians, http://www.postgradmed.com.htm
Nanda, Rita., 2005, Medical Encyclopedia: Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), http://www.nlm.nih.gov.htm
Nanda, Rita., 2005, Medical Encyclopedia: Fibrinogen, http://www.medlineplus.com
Nanda, Rita., 2005, Medical Encyclopedia: Partial Thromboplastin Time (PTT), http://www.medlineplus.com
Nanda, Rita., 2005, Medical Encyclopedia: Platelet Count, http://www.medlineplus.com
Nanda, Rita., 2005, Medical Encyclopedia: Prothrombin Time, http://www.medlineplus.com
Newman, Arthur., 1999, Disseminated Intravascular Coagulation, http://www.addl.perdue.edu.htm
Ngan, Vanessa., 2005, Dissemninated Intravascular Coagulation, DermNet NZ,  http://www.dermnetdz.org
Price, Sylvia Anderson., Wilson, Lorraine McCarty, 1995, Patofisiologi; konsep klinis proses-proses penyakit, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta
Rani, Aziz., Soegondo, Sidartawan., dkk., 2005, Standar Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia., Penerbit PB PAPDI, Jakarta
Tjokronegoro, Arjatmo., Utama, Hendra., 2001, Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II, Edisi Ketiga, Balai Penerbit FKUI, JAkarta

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template