Sabtu, 16 Juli 2011

Diabetes Mellitus tipe II

DIABETES MELITUS TIPE 2


I.         PENDAHULUAN
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah. Sedang sebelumnya WHO 1980 berkata bahwa diabetes melitus merupakan suatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut ataupun relatif dan gangguan fungsi insulin. Tampaknya terdapat dalam keluarga tertentu; berhubungan dengan aterosklerosis yang dipercepat, dan merupakan predisposisi untuk terjadinya kelainan mikrovaskular spesifik seperti retinopati, nefropati dan neuropati.
WHO telah mengidentifikasi 3 macam diabetes, yaitu diabetes melitus tipe 1 atau insuline dependent diabetes mellitus (IDDM), tipe 2 atau non-insuline dependent diabetes mellitus (NIDDM), dan diabetes melitus gestasional.
Diabetes melitus tipe 2 adalah suatu sindroma metabolik yang disebabkan oleh resistensi insulin dan defisiensi insulin oleh karena gangguan fungsi sel beta pankreas. Pada DM type 2 terjadi resistensi  insulin dimana kemampuan insulin untuk meningkatkan uptake dan pemakaian glukosa di otot terganggu. Efek metabolik insulin terjadi pada transport glukosa dan metabolisme karbohidrat serta lemak intra seluler.

II.      PATOFISIOLOGI
Insulin adalah hormon kunci yang mengatur pengambilan glukosa dari darah ke dalam sebagian besar sel tubuh (terutama sel otot dan sel lemak). Karena itu kurangnya jumlah insulin atau kurang sensitifnya reseptor insulin memegang peranan penting pada seluruh tipe diabetes melitus.
            Sebagian besar karbohidrat dalam makanan yang kita makan dikonversi hanya dalam beberapa jam saja menjadi glukosa monosakarida, yang akan digunakan oleh tubuh sebagai bahan bakar. Insulin dilepaskan ke dalam darah oleh sel β, yang ditemukan di pulau-pulau Langerhans pankreas, sebagai respon terhadap meningkatnya kadar glukosa darah setelah makan. Insulin digunakan oleh sekitar duapertiga sel tubuh untuk mengabsorbsi glukosa dari darah untuk dipergunakan sebagai bahan bakar, dikonversi ke molekul-molekul yang membutuhkan, atau untuk disimpan. Insulin juga merupakan hormon yang mengatur konversi glukosa menjadi glikogen untuk disimpan dalam hati ataupun otot. Kadar glukosa darah yang rendah akan berdampak pada berkurangnya insulin yang dilepaskan sel β pankreas dan konversi glikogen menjadi glukosa kembali. Proses ini diatur oleh hormon glukagon yang berperan sebagai lawan insulin.
Kadar insulin yang tinggi meningkatkan proses anabolik seperti pertumbuhan sel dan duplikasi, sintesis protein, dan penyimpanan lemak. Insulin (atau kekurangannya) adalah tanda utama untuk konversi berbagai macam proses metabolisme dari katabolisme ke anabolisme, dan juga sebaliknya.
Jika jumlah insulin yang tersedia tidak cukup, atau jika respon sel lemah terhadap insulin (resistensi insulin), atau jika insulin itu sendiri tidak poten, glukosa tidak akan diabsorbsi dengan baik oleh sel-sel tubuh yang membutuhkan dan juga tidak akan disimpan dengan baik di hati dan otot. Efek yang terjadi selanjutnya adalah tingginya kadar glukosa darah, sintesis protein yang buruk, dan kelainan metabolisme lainnya, seperti asidosis.






Gambar 1 : Hiperglikemia pad DM Tipe 2

  
III.   EPIDEMIOLOGI
            Pada DM tipe 2 yang meliputi lebih dari 90% dari semua populasi diabetes, faktor lingkungan sangat berperan. Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari orang dewasanya. Faktor lingkungan dan terutama peningkatan kemakmuran suatu bangsa akan meningkatkan kekerapan diabetes.
            Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini telah dilakukan di Indonesia, kekerapan diabetes berkisar antara 1,5 s/d 2,3% kecuali di Manado yang agak tinggi sebesar 6%. Menurut penelitian yang dilakukan di Jakarta pada 1993, kekerapan DM di daerah sub-urban yaitu di Depok adalah 12,8%, sedangkan di daerah rural seperti Jawa Barat pada 1995 hanya sebesar 1,1%. Di daerah terpencil seperti Tanah Toraja didapatkan prevalensi DM hanya 0,8%. Di sini jelas menunjukkan perbedaan antara daerah urban dengan rural, menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes.
            Penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM tipe 2 sebesar 14,7%. Demikian juga di Makasar prevalensi diabetes terakhir tahun 2005 mencapai 12,5%.
            Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti jika dalam waktu 1 atau 2 dekade lagi kekerapan DM di Indonesia akan meningkat drastis.
            Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan WHO seperti tampak pada tabel 1, Indonesia akan menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025.
 Tabel 1. Urutan negara dengan jumlah pengidap diabetes terbanyak
di seluruh dunia 1995 dan 2025
 

 

IV.   MANIFESTASI KLINIS
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. DM dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak. Buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala-gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya. 1
Gejala klinis utama terdiri dari trias gejala :
-            Polidipsi
-            Polifagi
-            Poliuria
Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa sesudah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya parah dan melebihi ambang ginjal, maka timbul glukosuria. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang menigkatkan pengeluaran kemih (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsi). Karena glukosa hilang bersama kemih, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang, rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.
Dapat pula disertai keluhan-keluhan sebagai berikut :
-            Kelainan kulit : gatal, bisul-bisul.
-            Kelainan ginekologis : keputihan.
-            Kesemutan, rasa baal. (sudah terjadi neuropati)
-            Kelemahan tubuh, mudah merasa lelah.
-            Luka atau bisul yang tidak sembuh-sembuh
-            Infeksi saluran kemih.
-            Kelainan mata : mata kabur disebabkan katarak, gangguan refleksi 1
Manifestasi klinik sindrom resistensi insulin3
1.             Hiperinsulinemia (insulin puasa meningkat)
2.             Hiperglikemia (TGT)
3.             Hipertrigliseridemia / dislipedemia
4.             Hipertensi
5.             Fibrinogen menigkat
6.             Hiperuresemia
7.             Obesitas
8.             Atherosclerosis / penyakit jantung koroner.

V.      DIAGNOSIS
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena atau kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menenjukan gejala/ tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaring positif, untuk memastikan diagnostik definitif.
Pemeiksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM sebagai berikut: 1). Usia > 45 tahun; 2). Berat badan lebih: BBR> 110 BB idaman atau IMT > 23% kg/m2; 3). Hipertensi (≥140/90 mmHg); 4). Riwayat DM dalam garis keturunan; 5). Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat > 4000 gram; 6). Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl.2
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan menegakkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan glukosa darah pasca pembebanan ≥ 200 mg/dl.3


                                   


Gambar 2.  Skema Diagnosis Kemungkinan DM
VI.   PENATALAKSANAAN
Dalam jangka pendek penatalaksanaan DM bertujuan untuk menghilangkan keluhan atau gejala DM. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mencegah komplikasi. Tujuan tersebut dilaksanakan dengan cara menormalkan kadar gula darah, lipid dan insulin1.  Penatalaksanaan DM dibagi dalam dua kelompok yaitu 2 :
I.         Terapi primer, terdiri dari :
1.                                   Diet diabetes.
2.                                   Latihan fisik.
3.                                   Penyuluhan kesehatan masyarakat.
II.      Terapi sekunder, terdiri dari :
1.                                                                                                                                  Obat anti diabetik
2.                                                                                                                                  Cangkok pankreas
Kelima dasar pengobatan DM tersebut dikenal dengan nama “ Pentalogi terapi DM “2
1.                                             Diet diabetes
            Diet masih tetap merupakan pengobatan yang utama terutama pada DMTTI. Peran diet ini jelas sekali pada pasien yang gemuk dimana toleransi glukosa jelas menjadi normal dengan menurunnya berat badan.
Diet standar untuk diabetes saat ini umumnya berdasarkan dua hal yaitu tinggi karbohidrat, rendah lemak, tinggi serat atau tinggi karbohidrat, tinggi asam lemak tidak jenuh berikatan tunggal. Perencanaan diet harus mengikuti prinsip bahwa harus cukup kalori untuk mencapai atau mempertahankan BB idaman, memperhatikan bila ada komplikasi maka sesuaikan dengan komplikasi, cukup vitamin dan mineral.
            Komponen gizi pada diabetes : diet tinggi karbohidrat dapat menimbulkan perbaikan glukosa terutama pada pasien gemuk. Asupan protein sebesar 0,8 gr/kg BB idaman dapat mempertahankan proteogenesis, 50 % harus berasal dari protein hewani. Asupan lemak tidak boleh lebih tinggi daripada 30 % dan kolesterol kurang dari 300 mg/hari. Sedangkan serat dianjurkan 30 – 40 g/hari.2,3


2.                                             Latihan Fisik
Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3 –4 kali seminggu selama ± 0.5 jam yang sifatnya sesuai dengan CRIPE (Continuos, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance training).
Latihan dilakukan terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur, selang-seling antara gerak cepat dan lambat, berangsur-angsur dari sedikit ke latihan yang lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu.2,3
3.                                             Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
            Merupakan salah satu bentuk penyuluhan kesehatan kepada penderita DM melalui bermacam-macam cara ataupun media. Penyuluhan kesehatan ini sangat penting agar regulasi DM mudah tercapai dan komplikasi DM dapat ditekan frekuensinya dan beratnya2
Beberapa hal yang perlu dijelaskan kepada penderita DM, adalah2
1.        Apa penyakit DM itu.
2.        Cara diit yang benar.
3.        Kesehatan mulut.
4.        Cara latihan fisik.
5.        Menjaga baik bagian bawah ankle joint ( daerah “ berbahaya” )
6.        Tidak boleh menahan kencing

4.                                             Obat anti diabetik
            Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan kegiatan jasmani yang teratur tetapi kadar glukosanya darahnya masih belum baik, dipertimbangkan pemakaian obat berkhasiat hipoglikemik oral atau suntikan3
a.                                                                                                                                                                                             Obat hipoglikemik oral
  • Sulfonilurea (SU)
Mekanisme kerja obat ini : menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin, dan meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa. Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan berat badan normal dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih.2
  • Biguanid  (Metformin)
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler. Metformin juga meningkatkan pemakaian  glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga menghambat absorpsi glukosa dari usus pada keadaan sesudah makan.2
  • Inhibitor alfa glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna, sehingga menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemik pasca prandial.2
b.                                                                                                                                                                                            Obat hipoglikemik suntikan ( Insulin )
            Indikasi mutlak penggunaan insulin adalah DM tipe I, selain itu pada keadaan tertentu, meskipun bukan DM tipe I, sering pula terapi insulin diberikan dengan tujuan agar tubuh memiliki jumlah insulin efektif pada saat yang tepat2
Indikasi penggunaan insulin pada tipe 2, adalah : 1, 2
§  DM dengan berat badan menurun cepat / kurus.
§  Ketoasidosis, asidosis laktat dan koma hiperosmolar.
§  DM yang mengalami stres berat.
§  DM dengan kehamilan / DM gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan.
§  DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosis maksimal atau ada kontraindikasi dengan obat tersebut.


 
  VII.Komplikasi
Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori mayor, yaitu: (1) komplikasi metabolik akut, (2) komplikasi-komplikasi vaskuler jangka panjang.3
Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik diabetes oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes adalah ketoasidosis diabetic (KAD). KAD ditandai dengan kadar insulin menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria  berat, penurunana lipogenesis, peningkatan lipolisis, dan peningkatan benda keton (aseton, hidoksibutirat, asetoasetat). Peningkatan benda keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Keadaan ketosis meningkatkan ion hidrogen dan asidosis metabolik. KAD ditangani dengan 1). Perbaikan kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin, 2). Pemulihan keseimbangan air dan elektronik, 3). Pengobatan keadaan yang mungkin mempercepat keadaan ketoasidosis.
HHNK (Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik) adalah komplikasi metabolik akut dari DM tipe 2 yang lebih tua. Keadaan kekurangan insulin relatif, hiperglikema muncul tanpa ketosis.hipeglikemia yang berat (> 600 mg/dl) menyebabkan hiperosmolalitas, diuesis osmotik dan dehirasi berat.
Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin). Keadaan ini bisa terjadi bila pasien meneima/ menggunakan insulin terlalu banyak. Gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan hormon epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi). Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya, bilasering terjadi atau terjadi dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen atau bahkan kematian. Penatalaksanaan hipoglikemia adalah perlu segera diberikan karbohidrat, baik oral maupun intravena. Kadang-kadang glukagon (intramuskular) diberikan untuk meningkatkan kadar glukosa darah.2,3
Komplikasi kronik, meliputi :
1.        Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung, pembuluh tepi, pembuluh darah otak.
2.        Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah kecil misalnya : retinopati diabetik, nefropati diabetik
3.        Neuropati diabetik (Mikro dan Makroangiopati)
4.        Rentan infeksi seperti tuberkulosis paru, gingivitis dan ISK (Mikro dan Makroangiopati)
Faktor-faktor yang berpengaruh pada tingkat kejadian komplikasi makrovaskular misalnya : hiperglikemis, hiperlipidemia, diet tinggi lemak jenuh, hipertensi, kegemukan, kegiatan jasmani yang kurang, hiperinsulinemia, kelainan mikrovaskular, kelainan genetik, kelainan glikoprotein, pengobatan dengan sulfonilurea dan biguanid, neuropati, efek metabolik lain akibat defisiensi insulin, viskositas darah yang meningkat, dan faktor lain seperti merokok.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada tingkat kejadian kelainan  mikrovaskular : hiperglikemia (lamanya, derajat tingginya, kelabilan), tekanan darah, kegemukan, jenis kelamin, umur, kadar insulin serum, kadar lipid serum, faktor genetik, diet dan status gizi, macam pengobatan, neuropati, merokok, dan faktor lain : permeabilitas dan fragilitas kapiler, koagulabilitas dan viskositas darah, oksigenisasi, protein serum/glikoprotein.2,3
Neuropati diabetic
Neuropati diabetik adalah kelainan neurotik yang dihubungkan dengan diabetes. Keadaan ini diperkirakan merupakan hasil dari cedera mikrovaskuler pada diabetes yang melibatkan pembuluh-pembuluh darah kecil yang menyuplai sel-sel saraf (vasa nervorum). Keadaan yang umum dihubungkan dengan neuropati diabetik termasuk third nerve palsy, mononeuropati, amiotrofi diabetes, polineuropati, neuropati autonomik, dan neuropati torakoabdominal.
Prevalensi terjadinya neuropati diabetik diperkirakan mencapai 20% dari seluruh penderita diabetes. Dan 50-75% nya menjalani amputasi (nontraumatik).
Ada 4 faktor yang diperkirakan terlibat dalam terjadinya neuropati diabetik, yaitu penyakit mikrovaskuler, advanced glycation endproduct (AGE), protein kinase C, dan jalur polyol (polyol pathway).
1.        Penyakit Mikrovaskuler
Penyakit vaskuler dan neural sangat berhubungan satu sama lain. Kerja pembuluh darah tergantung pada sistem saraf yang mengaturnya, dan sistem saraf juga tergantung pada aliran darah yang adekuat. Perubahan patologis pertama yang terjadi pada penyakit mikrovaskuler adalah vasokonstriksi. Semakin berkembangnya kerusakan, disfungsi neural berjalan seiring perkembangan kerusakan pembuluh, seperti penebalan membran kapiler, hiperplasia endotel, yang berimbas pada berkurangnya tekanan oksigen dan hipoksia. Iskemik neural adalah kharakteristik dari neuropati diabetik. Agen vasodilator dapat memperbaiki aliran darah neural, yang akan berdampak pada membaiknya kecepatan konduksi saraf tersebut.
2.        Advanced Glycation Endproduct (AGE)
Meningkatnya kadar glukosa intrasel akan menyebabkan ikatannya dengan protein, yang mana akan merusak struktur dan fungsinya. Protein-protein yang ter-glikosilasi ini telah dihubungkan dengan patofisiologi terjadinya neuropati diabetik dan komplikasi-komplikasi diabetes jangka panjang lainnya.
3.        Protein Kinase C (PKC)
Meningkatnya kadar glukosa akan menyebabkan peningkatan diasilgliserol intrasel, yang akan mengaktifkan PKC. PKC akan menurunkan kecepatan konduksi saraf dengan cara menurunkan aliran darah neural.
4.        Jalur Polyol (Polyol Pathway)
Disebut juga Jalur Sorbitol/ Aldose Reduktase, Jalur Polyol berperan dalam komplikasi diabetes dan menyebabkan kerusakan mikrovaskuler jaringan saraf, juga pada retina dan ginjal di mana banyak terdapat mikrovaskuler itu sendiri. Tingginya kadar glukosa dalam darah akan mengaktifkan jalur biokimia yang akan menyebabkan peningkatan jumlah sorbitol dan radikal oksigen, serta penurunan jumlah nitric oxide dan glutation, dan mengakibatkan stres osmotik pada membran sel.
Neuropati diabetik melibatkan saraf-saraf perifer: saraf nyeri, motor neuron, saraf autonom. Gejala bervariasi tergantung saraf yang terkena. Gejala biasanya muncul perlahan-lahan dalam beberapa tahun.
Gejala yang umum meliputi mati rasa pada ekstremitas, disestesia (hilangnya sensasi suatu bagian tubuh), diare, disfungsi ereksi, hilangnya kontrol miksi, impotensi, mulut atau alis jatuh, penglihatan berkurang, kelemahan otot, disfagia, susah bicara, kontraksi otot, anorgasmia, badan terasa terbakar (terutama sore hari).
Pengobatan pada neuropati diabetik selain pengontrolan kadar gula untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, selebihnya hanya pengobatan simtomatik. Obat-obatan yang digunakan untuk mengontrol nyeri adalah golongan tricyclic antidepressant (TCAs), serotonin reuptake inhibitor dan obat antiepilepsi.
Nefropati diabetik
Nefropati diabetik, disebut juga Kimmelstiel-Wilson syndrome dan glomerulonefritis interkapiler, adalah penyakit ginjal progresif yang disebabkan angiopati kapiler pada glomerulus ginjal. Ditandai oleh sindrom nefrotik dan glomerulosklerosis noduler. Disebabkan oleh diabetes yang telah berlangsung lama. Nefropati diabetik dapat dimasukkan ke dalam chronic kidney disease (CKD). Merupakan penyebab dialisis utama di Amerika.
Prevalensi nefropati diabetik sekitar 15 tahun dari onset awal diabetes, jadi biasanya terjadi pada pasien berusia lanjut (antara 50-70 tahun). Penyakit ini cukup progresif dan dapat menyebabkan kematian dalam 2 atau 3 tahun dari lesi pertama, dan lebih banyak terjadi pada pria.
Perubahan patologis yang pertama terjadi pada nefropati diabetik adalah penebalan glomerulus. Pada stadium ini, albumin dalam urin mulai sedikit melebihi normal (albuminuria). Stadium ini disebut mikroalbuminuria, karena belum dapat terdeteksi oleh urinalisa biasa. Semakin berlanjutnya nefropati, semakin banyak glomeruli yang dihancurkan oleh glomerulosklerosis noduler. Saat jumlah albumin dapat terdeteksi oleh urinalisa biasa, biopsi ginjal akan menunjukkan nefropati diabetik.
Gagal ginjal akan menyebabkan defisit filtrasi cairan dan kelainan fungsi ginjal lainnya. Terjadi kenaikan tekanan darah (hipertensi) dan retensi cairan tubuh (oedem). Komplikasi lain dapat berupa arteriosklerosis arteri ginjal dan proteinuria (sindrom nefrotik). Gejala yang muncul dapat berupa anoreksia, mual dan muntah, sakit kepala, sering cegukan, dan gatal-gatal.
Tanda laboratorium yang pertama adalah mikroalbuminuria positif. Urinalisis dapat menunjukkan glukosa di urin. Serum kreatinin dan BUN dapat meningkat seiring bertambahnya kerusakan ginjal. Biopsi ginjal akan menegakkan diagnosis ini.
Stadium Penyakit Ginjal Kronik
Stage 1 – Kerusakan ginjal minimal, dengan GFR yang normal atau meningkat (>90 ml/ mnt/ 1,73 m2). Kerusakan ginjal ditandai dengan kelainan patologis seperti kelainan pada urinalisa, tes darah atau pencitraan.
Stage 2 – Sedikit menurunnya GFR (60-89 ml/ mnt/ 1,73 m2) dengan kerusakan ginjal yang ditandai dengan kelainan patologis seperti kelainan pada urinalisa, tes darah atau pencitraan.
Stage 3 – Penurunan GFR yang cukup besar (30-59 ml/ mnt/ 1,73 m2).
Stage 4 – Penurunan GFR yang berat (15-29 ml/ mnt/ 1,73 m2).
Stage 5 – Disebut juga End Stage Renal Disease (GFR <15 ml/ mnt/ 1,73 m2).
Tujuan dari pengobatan adalah mencegah berkembangnya penyakit mencapai stage 5. Kontrol tekanan darah dan penanganan penyakit yang mendasari adalah pokok manajemen penyakit ini. Obat golongan angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI) dan angiotensin II receptor blockers (ARB) terbukti mampu memperlambat progresifitas penyakit ginjal.

























IDENTITAS PASIEN
Nama                           : Tn. S
Umur                           : 62 tahun
Jenis Kelamin              : Laki-laki
Alamat                                    : Sidomulyo, Purworejo
Pekerjaan                     : Pensiunan
Agama                         : Islam
Tgl masuk RS              : 12 September 2009
Bangsal                       : Bougenville

ANAMNESA
Keluhan utama            : badan terasa panas
Keluhan tambahan      : penurunan kesadaran

A.           Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan kiriman dari Budi Sehat post opname 4 hari yang lalu. Pasien mengeluh badan terasa panas dan mengalami penurunan kesadaran. Ketika dirawat di Budi Sehat pasien mengaku mengalami kesulitan buang air kecil.
B.            Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mempunyai riwayat DM, namun tidak pernah melakukan kontrol rutin.  


PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum           : sedang
Kesadaran                   : compos mentis
Tanda vital                  : tekanan darah            : 140/80 mmHg
                                      nadi                           : 82 x/menit
                                      suhu                           : 36ºC


Kepala
Mata      : perdarahan (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung  : discharge (-/-), napas cuping hidung (-/-)
Leher    : JVP tidak meningkat
Dada     : bentuk normal, simetris, tidak ada ketinggalan gerak dan tidak ada retraksi  dinding dada, vocal fremitus kanan = kiri (normal)
Pulmo    : suara nafas vesikuler normal, ronkhi (-), wheezing (-), perkusi sonor
Cor        : BJ S1 & S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen       : supel, turgor kulit baik, elastisitas normal, nyeri tekan (-), Hepar/Lien  tidak teraba, perkusi timpani, peristaltik (+) normal
Ekstremitas    : edema (-) pada kedua ekstremitas bawah, akral hangat


PEMERIKSAAN PENUNJANG
12 Mei 2009
  • Pemeriksaan darah lengkap
-          Hb                  :           11,1     (11-16,5 g/dl)
-          Hmt                :           31,4     (35-50%)
-          AE                  :           3,65     (3,8-5,8 juta)
-          AT                  :           153      (150-390 ribu/ mm3)
-   MCV                :           87,3     (80-97 μm3)
-   MCH                :           30        (26,5-33,5 pg)
-   MCHC             :           34,4     (31,5-35 g/dl)
-          Leukosit         :           7,6       (3,5-10 ribu/mm3)

  • Pemeriksaan Kimia Darah      
-   GDS                             :           55        (< 140 mg%)
-   Kolesterol                    :           100      (150- 250 mg%)
-   Trigliserida                   :           236      (<150 mg%)
-   Ureum darah                :           24,5     (10-50 mg%)
-          Kreatinin darah          :           14,11   (0,5-0,9 mg%)
-          SGOT                         :           106      (5-42 U/I)
-          SGPT                         :           68        (5-32 U/I)

·         USG
USG renal dextra normoechoic, SPC tak melebar. Renal sinistra tampak lesi hyperechoic, tampak lesi anechoic bulat batas tegas pada cortex dengan ukuran kira-kira 3,66 x 3,11 x 2,99 cm, SPC tak melebar.
Kesan : Nephrolithiasis sinistra dengan massa kistik ren sinistra, ren dekstra normal.

·         GDS
12 November 2009 GDS 55
13 November 2009 GDS 189
14 November 2009 GDS 307
15 November 2009 GDS 173
16 November 2009 GDS 224
18 November 2009 GDS 266
19 November 2009 GDS 226
20 November 2009 GDS 272
22 November 2009 GDS 308
23 November 2009 GDS 191

DIAGNOSA KERJA
ü  Diabetes Melitus tipe 2
ü  CKD derajat 5

TERAPI
·         Aminoral
·         Gemfibrosil
·         Citicholin
·         Thiamin
·         Novorapid
·         Lantus
·         Diet DM dan uremia

 



































DAFTAR PUSTAKA



1.       Mansjoer A., Triyanti K., Santri R, Wardhani WI, Setiowulan W, Diabetes Mellitus, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ketiga, Jilid I, Jakarta : Media Aesculopius, 2001, P. 580-587.
2.       Tjokroprawiro A, Diabetes mellitus : Klasifikasi, Diagnosis dan Terapi, edisi ketiga. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001. P. 17 – 47
3.       Harahap A. Diabetes Melitus, Sari Pustaka Ilmu Penyakit Dalam, Cirebon ; 2003. P. 202 – 216
4.       Subekti I, Penatalaksanaan Agresif DM Tipe 2 : Terapi Kombinasi obat Hipoglikemik Oral dengan Insulin, Naskah lengkap Penyakit Dalam PIT 2002, Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbit Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2002. P 197 – 199
5.       Waspadji S. Gambaran Klinis Diabetes Melitus, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I, edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996, P. 586 – 587
6.       Harahap A., Resistensi Insulin dan Defenisi Insulin pada DM Type – 2. Cirebon : 2002
7.       Darmono, Diagnosis dan Klasifikasi DM, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi ketiga, Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1996.
8.       Scteingart. DE, Pankreas Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus, Patofisologi Konsep Proses-proses Penyakit, edisi 4, Buku II, ed : Caroline Wijaya, Jakarta : EGC, 1995, P. 1111-1114

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template