Sabtu, 16 Juli 2011

Retinoblastoma

BAB I
PENDAHULUAN

Retinoblastoma adalah suatu neoplasma yang berasal dari neuroretina (sel batang dan kerucut) atau sel glia, yang bersifat ganas. Kelainan ini bersifat kongenital autosom dominan bila mengenai kedua mata atau bersifat mutasi somatik bila mengenai satu mata saja. Tumor ini tumbuhnya sangat cepat sehingga vaskularisasi tumor tidak dapat mengimbangi tumbuhnya tumor sehingga terjadi degenerasi dan nekrosis yang disertai kalsifikasi (Wijana, 1993).
Retinoblastoma merupakan tumor ganas pada mata terbanyak yang ditemukan pada anak-anak dibawah usia 5 tahun di Amerika, menyerang 300 anak per tahun. Tumor ini ditemukan lebih banyak lagi di negara berkembang. Alasan mengenai tingginya insidensi ini belum diketahui secara jelas. Diduga keadaan sosial dan ekonomi yang rendah serta adanya Human Papilloma Virus dalam jaringan retina meningkatkan insidensi retinoblastoma (Hardy, 2007).
Diagnosis retinoblastoma pada 90% kasus ditegakkan sebelum anak berusia tiga tahun. Meskipun jarang, retinoblastoma dapat muncul pada segala usia. Tiga puluh persen kasus retinoblastoma bersifat herediter dan menyerang pada kedua mata (Vaughan et.al., 2000).
 Retinoblastoma biasanya tidak disadari sampai perkembangannya cukup lanjut sehingga sudah menimbulkan kelainan pada mata berupa pupil putih, strabismus atau peradangan (Harbour, 2001). Secara umum, semakin dini penemuan tumor dan semakin dini dilakukannya terapi tumor, semakin besar kemungkinan kita mencegah perluasan tumor melalui saraf optikus dan jaringan orbita. Retinoblastoma dapat berakibat fatal bila tidak mendapatkan pengobatan yang tepat (Vaughan et.al., 2000).
Terapi retinoblastoma disesuaikan sesuai kebutuhan dan stadium perjalanan penyakit, yang bervariasi pada setiap pasien. Secara garis besar manajemen terapi terhadap penderita retinoblastoma dibagi menjadi dua yaitu terapi retinoblastoma intraokular dan terapi retinoblastoma ekstraokular. Penatalaksanaan terhadap pasien retinoblastoma membutuhkan kecermatan dan ketelatenan yang tinggi karena penderita retinoblastoma harus dievaluasi sepanjang hidupnya.
 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi dan Fisiologi Retina.
            Retina merupakan membran tipis jaringan saraf, halus, tidak berwarna, tembus pandang dan multilapis yang melapisi bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan dan berakhir di tepi ora serata, berbentuk seperti jaring dan mempunyai metabolisme oksigen yang sangat tinggi. Permukaan dalam retina menghadap ke corpus vitreus dan permukaan luar retina bertumbukan dengan epitel pigmen pada koroid. Pada sebagian tempat, retina dan epitel pigmen berhubungan tidak erat sehingga mudah membentuk ruang subretina yang terjadi pada ablasi retina. Tetapi pada diskus optikus dan ora serata retina dan epitel pigmen saling melekat kuat. Lapisan- lapisan retina dari dalam keluar terdiri dari (Wijana, 1993):
1.                  Membrana limitans interna
2.                  Lapisan serabut saraf
3.                  Lapisan sel- sel ganglion
4.                  Lapisan pleksiformis dalam
5.                  Lapisan nukleus dalam
6.                  Lapisan pleksiformis luar
7.                  Lapisan nukleus luar
8.                  Membrana limitans eksterna
9.                  Lapisan sel batang dan kerucut
10.              Lapisan epitel pigmen
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serata dan 0,23 mm pada kutub posterior. Di tengah- tengah retina posterior, dimana aksis mata memotong retina, terdapat makula lutea. Secara klinis makula lutea dapat didefinisikan sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil), yang berdiameter 1 mm - 2 mm. Makula lutea dibatasi oleh arkade- arkade pembuluh darah retina temporal. Di tengah makula, sekitar 3,5 mm di sebelah lateral diskus optikus terdapat fovea sentralis yang secara klinis jelas merupakan cekungan, yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop. Pada daerah ini daya penglihatannya paling tajam. Struktur makula lutea (Wijana, 1993):
1.      Tak ada serat saraf.
2.      Sel- sel ganglion sangat banyak di tepi daerah makula lutea.
3.      Terdiri dari lebih banyak sel kerucut daripada sel batang. Pada daerah fovea sentralis hanya terdapat sel kerucut.
Pada daerah nasal dari makula lutea terdapat papil nervi optikus, yaitu tempat dimana N. II menembus sklera. Papil ini hanya terdiri dari serabut saraf, tidak mengandung sel batang dan sel kerucut sama sekali. Oleh karena itu pada daerah tersebut tidak dapat melihat sama sekali dan disebut titik buta (blindspot) atau skotoma fisiologis (Ilyas, 2007).
Retina menerima darah dari dua sumber, yaitu khoriokapilaris dan arteri retina sentralis. Khoriokapilaris memperdarahi sepertiga lapisan bagian luar retina yaitu : lapisan epitel pigmen, lapisan sel batang dan sel kerucut, lapisan limitans eksterna dan lapisan nukleus luar. Arteri retina sentralis memperdarahi dua pertiga lapisan bagian dalam retina. Fovea sentralis sepenuhnya diperdarahi oleh khoriokapilaris. Dengan demikian kalau pada arteri retina sentralis terjadi sumbatan, maka lapisan serebral tidak mendapatkan darah sehingga terjadi kebutaan, walaupun daerah lapisan epitel pigmen, sel batang dan sel kerucut masih mendapat darah dari khoriokapilaris. Demikian pula sebaliknya, apabila terjadi ablasi retina, juga terjadi kebutaan karena sel- sel batang dan kerucut tidak mendapat darah dari khoriokapilaris, walaupun lapisan serebral masih mendapat darah (Ilyas, 2007).
Retina mempunyai fungsi yang sangat penting dalam proses penglihatan. Gelombang cahaya yang jatuh pada retina ditangkap oleh dua macam reseptor pada retina, yaitu sel batang dan sel kerucut dan merubahnya menjadi impuls saraf, melewati nervus optikus, kiasma optikus, traktus optikus, korpus genikulum lateral, radiasio optika sampai di serebrum. Sel batang berguna untuk menerima rangsang cahaya dengan intensitas rendah (redup) dan untuk penglihatan perifer (orientasi ruangan), tidak dapat melihat warna. Sedangkan sel kerucut terutama terdapat di fovea yang penting untuk penglihatan sentral (ketajaman penglihatan), menerima rangsang cahaya kuat dan rangsang warna. Untuk menangkap rangsang warna, pada sel kerucut terdapat 3 macam pigmen yang masing- masing peka terhadap warna merah, hijau dan biru yang dilengkapi oleh rodopsin sebagai reseptornya. Pigmen yang peka terhadap warna merah mempunyai spektrum absorbsi terluas dengan maksimum absorbsi 575 mA. Pigmen yang peka terhadap warna hijau mempunyai maksimum absorbsi 540 mA sedangkan pigmen yang peka terhadap warna biru mempunyai maksimum absorbsi 430 mA. Daerah spektrum ini saling melingkupi. Bila dapat membedakan ketiga macam warna maka disebut trikromat. Bila dapat membedakan kedua macam warna maka disebut dikromat. Bila hanya satu warna saja maka disebut monokromat. Bila ketiga macam pigmen tersebut rusak disebut akromatopsia, dimana hanya dapat dibedakan antara hitam dan putih saja. Kerusakan pigmen warna merah disebut proton, warna hijau disebut deutron dan warna biru disebut triton. Kerusakan total pada pigmen dinamakan anopsia, bila kerusakan sebagian dinamakan anomalia. Bila terdapat kerusakan sebagian dari pigmen warna merah maka disebut protonanomalia. Bila kerusakan pigmen warna merah tersebut total maka tidak terdapat pigmen warna merah sama sekali dan disebut protonanopia. Klasifikasi buta warna (Wijana, 1993) :
1.      Tipe trikromat :
-          Orang normal
-          Protonanomalia : kekurangan pigmen warna merah.
-          Deutronanomalia : kekurangan pigmen warna hijau.
-          Tritonanomalia : kekurangan pigmen warna biru.
2.      Tipe dikromat :
-          Protonanopsia : tidak terdapat pigmen warna merah.
-          Deutronanopsia : tidak terdapat pigmen warna hijau.
-          Tritonanopsia : tidak terdapat pigmen warna biru.
3.      Tipe monokromat : hanya terdapat satu macam pigmen warna.
4.      Tipe akromatopsia :
-          Tidak terdapat pigmen warna sama sekali.
-          Buta warna totalis, tidak dapat melihat warna sama sekali.
Untuk melihat fungsi retina  maka dapat dilakukan pemeriksaan subyektif dan obyektif. Pemeriksaan subyektif retina seperti :
  1. pemeriksaan  tajam penglihatan dengan optotip Snellen.
  2. pemeriksaan buta warna dengan kartu Ishihara.
  3. Pemeriksaan lapang pandang :
-          Lapang pandang sentral dengan layar hitam Byerrum
-          Lapang pandang perifer dengan perimeter atau kampimeter.
Sedangkan pemeriksaan obyektif retina dilakukan dengan :
  1. Pemeriksaan retina dengan Opthalmoskop
                  Retina adalah membran tipis yang halus, tidak berwarna dan tembus pandang, oleh karenanya warna merah yang tampak pada pemeriksaan adalah warna dari koroid. Pada pemeriksaan harus dilihat papil, pembuluh darah dan makula lutea. Pada papil harus diamati bentuk, batas, warna dan ekskavasinya. Pembuluh darah harus dapat dibedakan antara pembuluh darah arteri dengan vena sentral. Perbandingan arteri dengan vena adalah 3 : 4. Bentuk pembuluh darah arteri adalah diameternya lebih kecil, dengan warna lebih merah, bentuknya lebih lurus dan ditengahnya terdapat reflek cahaya. Sedangkan pada vena pembuluh darahnya lebih besar, warna lebih tua dan bentuk lebih berkelok- kelok. Pemeriksaan untuk melihat makula lutea dilakukan terakhir karena pasien akan merasa silau sekali. Makula lutea terletak pada jarak 2,5 mm di bagian temporal papil atau dapat dilihat dengan meminta pasien melihat lampu ophtalmoskop. Makula bebas pembuluh darah dan mengandung lebih sedikit pigmen dibanding daerah retina lainnya. Bagian sentral makula sedikit tergaung akibat lapisannya yang kurang memberikan refleks makula bila disinari (Ilyas, 2007)
  1. Fluoresin Angiografi
Pemeriksaan fundus setelah pemberian fluoresin intravena merupakan cara diagnostik yang penting. Lima cc larutan sodium fluoresin disuntikkan dalam V. Antecubiti secara cepat. Dengan alat pemotret hitam putih tertentu dilakukan pemotretan sebelum penyuntikan kemudian dilakukan lagi pemotretan setiap 0,5 sekon selama 20 sekon. Sebagai tambahan dilakukan pula pemotretan pada menit ke-3 dan ke-30. Gambaran berharga dapat pula didapat dengan melakukan fluoresin angioskopi, yaitu dengan melakukan opthalmoskopi tak langsung setelah dilakukan penyuntikan. Dengan cara ini didapatkan evaluasi dari keadaan anatomis dan fisiologis dari pembuluh darah retina.
  1. Elektroretinografi (ERG).
                  ERG adalah pengukuran terhadap perubahan potensial retina dengan pengaruh cahaya Retina yang normal menunjukkan perubahan gelombang listrik bila terkena cahaya. ERG sangat berguna untuk membantu diagnosa penderita dengan kerusakan retina yang luas, atau penderita kelainan retina dengan media refrakta keruh.
  1. Ultrasonografi (USG).
                  USG menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi yang tidak dapat didengar oleh manusia (8-10 MHz) untuk mendapatkan suara yang dipantulkan oleh jaringan lunak dengan macam-macam ketebalan. USG dipergunakan untuk menentukan berbagai macam tumor-tumor orbita dan memeriksa bagian posterior mata bila media refrakta keruh.
II.2. Definisi Retinoblastoma.
Retinoblastoma adalah suatu neoplasma yang berasal dari neuroretina (sel batang dan kerucut) atau sel glia yang bersifat ganas. Kelainan ini bersifat kongenital autosom dominan bila mengenai kedua mata atau bersifat mutasi somatik bila mengenai satu mata saja. Tumor ini tumbuhnya sangat cepat sehingga vaskularisasi tumor tidak dapat mengimbangi tumbuhnya tumor sehingga terjadi degenerasi dan nekrosis yang disertai kalsifikasi (Wijana, 1993).
Retinoblastoma biasanya tidak disadari sampai perkembangannya cukup lanjut sehingga sudah menimbulkan kelainan pada mata berupa pupil putih, strabismus atau peradangan (Harbour, 2001). Secara umum, semakin dini penemuan tumor dan semakin dini dilakukannya terapi tumor, semakin besar kemungkinan kita mencegah perluasan tumor melalui saraf optikus dan jaringan orbita. Retinoblastoma dapat berakibat fatal bila tidak mendapatkan pengobatan yang tepat (Vaughan et.al., 2000).
II.3. Etiologi dan Patogenesis.
            Penyebab terjadinya Retinoblastoma adalah mutasi gen. Suatu alel di dalam satu lokus di dalam pita kromosom 13q14 mengontrol tumor tersebut, baik dalam bentuk herediter maupun non herediter (Harbour, 2001).
Gen retinoblastoma normal, yang biasa terdapat pada semua orang merupakan suatu gen supresor tumor atau anti onkogen. Individu dengan penyakit herediter memiliki satu alel yang terganggu di setiap sel tubuhnya. Apabila alel pasangannya di sel retina yang sedang tumbuh mengalami mutasi spontan, terbentuklah tumor. Pada bentuk penyakit non herediter, kedua alel gen retinoblastoma normal di sel retina yang sedang tumbuh diinaktifkan oleh suatu mutasi spontan (Harbour, 2001). Penyebab dari mutasi gen ini tidak diketahui dengan pasti hingga saat ini. Diduga adanya Human Papilloma Virus dalam jaringan retina yang sedang tumbuh dapat meyebabkan mutasi yang meningkatkan resiko terjadinya retinoblastoma, adapula dugaan bahwa prosedur bayi tabung dapat meningkatkan resiko terjadinya retinoblastoma pada calon bayi (Chintagumpala, 2007).
            Retinoblastoma dapat tumbuh ke luar yang disebut dengan retinoblastoma eksofitik atau dapat tumbuh ke dalam yang disebut retinoblastoma endofitik. Retinoblastoma endofitik kemudian meluas ke korpus vitreum. Kedua jenis retinoblastoma secara bertahap akhirnya mengisi mata (Hardy, 2000) Metastase pada retinoblastoma dapat terjadi melalui nervus optikus menuju ke kiasma optikum dan ke ruang sub arakhnoid. Dari ruang sub arachnoid sel tumor dapat bermetastase ke otak dan serebrospinal. Tumor dapat juga bermetastase melalui koroid dan pembuluh darah yang terdapat di dalamnya kemudian menyebar secara hematogen hingga ke tulang. Selain itu tumor dapat pula bermetastase secara limfogen (Kaneko, 2006).
Secara mikroskopis, sebagian besar retinoblastoma terdiri dari sel-sel kecil yang tersusun rapat, bundar atau poligonal dengan inti besar berwarna gelap dan sedikit sitoplasma. Sel-sel ini kadang membentuk Rossete Flexner-Wintersteiner yang khas, yang merupakan indikasi diferensiasi fotoreseptor (Hardy, 2000).
II.4. Gejala dan tanda.
Gejala subyektif sukar untuk didapatkan karena anak tidak memberikan keluhan apapun ( bila dijumpai pada anak yang lebuh besar, gejala subyektif yang dikeluhkan umumnya adalah penglihatan yang menurun) sehingga retinoblastoma biasanya tidak disadari sampai perkembangannya cukup lanjut sampai menimbulkan gejala obyektif. Gejala obyektif pada retinoblastoma dari yang tersering disadari hingga yang jarang disadari (Chintagumpala, 2007) :
1.      Leukokoria ( Amourotic Cat’s Eye).
2.      Strabismus.
3.      Heterokromia.
4.      Glaukoma.
5.      Hifema.
6.      Peradangan orbita.


Leukokoria (mata kanan) pada Retinoblastoma
                                                      (Wikipedia, 2008)
Didapatkan tiga stadium pada retinoblastoma, yaitu (Wijana, 1993) :
1.      Stadium tenang : Pupil lebar. Pada pupil tampak reflek kuning yang disebut Amourotic Cat’s Eye. Hal inilah yang menarik perhatian orangtuanya untuk membawa anak berobat. Pada funduskopi tampak bercak berwarna kuning mengkilat dapat menonjol ke dalam badan kaca. Pada permukaan terdapat neovaskularisasi dan perdarahan.                                       
2.      Stadium glaukoma : Oleh karena tumor yang semakin besar, maka tekanan intraokuler meningkat sehingga menyebabkan glaukoma sekunder dengan disertai rasa sakit yang sangat. Media refrakta menjadi keruh, oleh karenanya pada pemeriksaan dengan funduskopi sudah tidak jelas dan sukar untuk menentukan besarnya tumor.
3.      Stadium ekstraokuler : Tumor menjadi lebih besar, bola mata membesar, menyebabkan eksoptalmus, kemudian dapat pecah ke depan sampai keluar dari rongga orbita disertai dengan jaringan nekrosis di atasnya (retinoblastoma eksofitik). Pertumbuhan dapat pula terjadi kebelakang sepanjang nervus optikus dan masuk ke ruang tengkorak (retinoblastoma endofitik)
II.5. Diagnosis dan Pemeriksaan penunjang
Dianosis dari retinoblastoma didasarkan dari hasil pemeriksaan dan temuan obyektif yang didapat oleh dokter spesialis mata yang memeriksa. Biopsi jarang dilakukan karena prosedur tersebut beresiko tinggi untuk memudahkan penyakit ini bermetastase.
Pada pemeriksaan funduskopi didapatkan gambaran tumor dengan warna putih atau krem kekuningan, dengan lesi satelit pada retina, ruang sub retina dan terdapat sel-sel tumor pada korpus vitreus (Vitreus Seeding). Untuk mendapatkan pemeriksaan funduskopi yang lebih detail sebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan midriatil untuk melebarkan pupil (Kaneko, 2006).

 Gambar 1.
Pemeriksaan Opthalmoskop menunjukkan gambaran tumor dengan Vitreus Seeding
 
Retinoblastoma: tumor dengan Vitreus   Seeding

Gambar 2.
Pemeriksaan Opthalmoskop menunjukkan gambaran tumor dengan Snowball Vitreus Seeding


Gambar 3.
Pemeriksaan Opthalmoskop
 
    Retinoblastoma: tampak jaringan  kalsifikasi tanpa Vitreus Seeding


Gambar 4.
Pemeriksaan Fluoresin Angiografi
 
Dengan keadaan yang sama dengan gambar 2, pada pemeriksaan dengan Fluresin Angiografi tidak memberikan gambaran Vitreus Seeding.

Pada pemeriksaan fluoresen angiografi didapatkan gambaran berupa massa tumor dan neovaskularisasi pada daerah tumor, tetapi tidak dapat menampilkan gambaran Vitreus Seeding (Kaneko, 2006).
USG pada mata dapat memberikan gambaran heterogenitas dan kalsifikasi jaringan yang identik dengan massa pada retinoblastoma. USG tidak lebih sensitif jika dibandingkan dengan Computed Tomografi (CT) yang ideal untuk mendeteksi adanya kalsifikasi intraokuler. Namun, CT dikhawatirkan dapat memperburuk mutasi gen pada penderita retinoblastoma dengan usia di bawah 1 tahun karena adanya radiasi dari alat tersebut (Chintagumpala, 2007).
Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan alat yang paling sensitif untuk mengevaluasi retinoblastoma karena memberikan gambaran yang paling baik yang dapat memantau ada tidaknya metastase pada nervus optikus. Pemeriksaan foto polos diindikasikan bila pada gambaran klinis didapatkan kecurigaan adanya metastase ke tulang (Chintagumpala, 2007).
II.6. Diagnosis Banding.
            Untuk dapat menyingkirkan diagnosis banding dari Retinoblastoma dibutuhkan kejelian dari ahli mata yang memeriksa. Retinoblastoma dapat didiagnosis banding dengan :
1.      Fibroplasi Retrolental : merupakan suatu retinopati prematuritas yang timbul akibat pemberian oksigen yang berlebihan pada bayi prematur sesaat setelah lahir. Pada penyakit ini terdapat gejala yang sama dengan retinoblastoma yaitu leukokoria.
2.      Katarak kongenital : merupakan suatu kekeruhan lensa yang timbul pada saat lensa dibentuk, jadi kelainan ini telah ada sejak lahir. Namun biasanya baru disadari pada usia yang sama dengan usia disadarinya gejala retinoblastoma. Gejala obyektif pada kedua penyakit ini sama, berupa leukokoria. Diagnosis dari retinoblastoma dapat dihilangkan setelah dilakukan pemeriksaan dengan opthalmoskop ataupun pemeriksaan secara radiologik.
3.      Endophthalmitis supurativa (endogen) : merupakan suatu peradangan pada koroid dan badan kaca yang disertai dengan abses. Pada pemeriksaan terlihat di belakang lensa tampak kuning menyerupai gejala Amourotic Cat’s Eye pada retinoblastoma. Gejala utama pada Endopthalmitis supurativa adalah penglihatan yang hilang dan tidak dapat kembali lagi, terdapat abses badan kaca dan fundus tak terlihat sama sekali karena tertutup oleh abses tadi.
4.      Penyakit Coats.
II.7. Terapi
            Penatalaksanaan terhadap pasien retinoblastoma membutuhkan kecermatan dan ketelatenan yang tinggi karena penderita retinoblastoma harus dievaluasi sepanjang hidupnya. Kerjasama antara dokter spesialis mata, dokter spesialis anak, dokter spesialis bedah onkologi, dokter spesialis radiologi, konsulen genetika, perawat dan keluarga pasien memainkan peranan yang penting dalam menangani perawatan penderita retinoblastoma. Berbagai macam jenis terapi retinoblastoma disesuaikan sesuai kebutuhan dan stadium perjalanan penyakit, yang bervariasi pada setiap pasien. Pasien unilateral intraokular retinoblastoma dengan ukuran tumor besar dan pertumbuhan tumor yang cepat sering dilakukan enukleasi yang akan mempunyai angka kesembuhan >95% (Honavar, 2001). Pasien dengan retinoblastoma pada kedua matanya biasanya mendapat multi terapi berupa terapi lokal dan kemoterapi. Enukleasi dilakukan pada satu mata, pada mata dengan prognosis yang paling buruk atau pada kedua mata bila visus kedua mata sudah nol (Shield, 2004). Secara garis besar manajemen terapi terhadap penderita retinoblastoma dibagi menjadi dua yaitu terapi retinoblastoma intraokular dan terapi retinoblastoma ekstraokular ( Honavar, 2001).
II.7.1 Terapi Retinoblastoma Intraokular.
            Stadium dari Retinoblastoma menentukan terapi yang akan diberikan pada penderita. Klasifikasi Reese-Ellsworth (R-E) untuk retinoblastoma intraokular ditemukan sejak tahun 1960 dan telah digunakan selama lebih dari 40 tahun hingga saat ini. Klasifikasi R-E sangat berguna dalam memperkirakan prognosis penderita yang akan diterapi dengan External Beam Radiation (EBR). Terdapat 5 stadium dalam klasifikasi R-E (Chintagumpala, 2007):


Tabel 1. Klasifikasi Reese-Ellsworth.
 

Selain klasifikasi R-E diatas juga terdapat klasifikasi lain berdasarkan gejala klinis yang ditemukan pada penderita, yaitu klasifikasi praktis yang dikemukakan oleh  Shields dan Murphree yang sering digunakan oleh dokter dalam menentukan stadium tumor :






Tabel 2. Pembagian Kelompok berdasarkan Tanda Klinis


Klasifikasi yang lain adalah oleh Essen yang juga membagi retinoblastoma menjadi 5 stadium :
Tabel 3. Klasifikasi Essen.


II.7.1.1 Enukleasi
            Kebanyakan pasien dengan unilateral retinoblastoma yang besar dan pertumbuhan tumor yang progresif dilakukan enukleasi. Indikasi lain dari enukleasi adalah pasien dengan bilateral retinoblastoma yang tidak merespon baik dengan kemoterapi atau dengan terapi lain dimana  enukleasi dilakukan pada mata dengan prognosis yang buruk. Enukleasi sangat jarang diindikasikan pada kedua mata. Biasanya enukleasi dilakukan pada kedua mata bila visus kedua mata nol. Setelah dilakukan enukleasi dapat dipasang bola mata buatan untuk menjaga agar kosmetika pasien tetap baik. Angka kesembuhan pasien unilateral retinoblastoma yang dilakukan enukleasi mencapai hingga >95% (Chintagumpala, 2007).
II.7.1.2Terapi EBR
 Terapi EBR mempunyai manfaat yang besar dalam penyembuhan retinoblastoma. Indikasi terbanyak dilakukannya EBR adalah pada pasien dengan bilateral retinoblastoma yang mendapat kekambuhan setelah dilakukan terapi lain pada kedua matanya. Anak dengan tumor kecil pada daerah makula yang tidak merespon dengan kemoterapi atau  anak yang mengalami kekambuhan setelah dilakukan kemoterapi dapat diindikasikan untuk mendapat terapi EBR.
Target lokasi terapi EBR adalah seluruh area tumor yang terdapat pada bola mata sampai sepanjang 1 cm didepan nervus optikus. Angka ketahanan hidup pasien yang diterapi dengan EBR adalah 53.4% dalam 10 tahun dengan angka kekambuhan 27,9% setelah 10 tahun terapi. Komplikasi dari terapi EBR adalah katarak, kerusakan nervus optikus, oklusi total retina, perdarahan korpus vitreus, dan hipoplasi tulang temporal (Shield, 2004).

II.7.1.3. Brachytherapy.
Brachytherapy dilakukan terbatas pada tumor yang berukuran diameter <16mm dan tebal <8mm dengan atau tanpa vitreus seeding. Dapat diindikasikan sebagi terapi primer atau dapat juga sebagai terapi pilihan pada pasien retinoblastoma yang tidak merespon terapi sebelumnya misalnya pada terapi dengan EBR. Kontraindikasi brachytherapy adalah tumor dengan ukuran besar atau tumor yang mengenai daerah makula. Efek samping dari Brachytherapy adalah optic neuropati, radiasi retinopati, dan katarak. Efek samping ini lebih jarang didapatkan disbanding dengan efek damping pada terapi EBR. Jarang dilaporkan kekambuhan pada pasien yang diterapi dengan Brachytherapy (Shield, 2004).
II.7.1.4. Termoterapi.
Thermotherapy dilakukan dengan mengaplikasikan panas secara langsung ke tumor, biasanya dilakukan dengan radiasi sinar infra merah dengan suhu 450 C- 600 C. Thermotherapy diindikasikan pada tumor kecil, dengan ukuran diameter <3 mm, tanpa vitreus seeding. Tumor dengan ukuran <1,5 mm dapat dikontrol dengan thermotherapy sebesar 92%.
II.7.1,5.Kemotermoterapi.
Tumor yang berukuran lebih besar dapat diterapi dengan kombinasi antara termoterapi dan kemoterapi yang disebut kemotermoterapi. Pelaksanaan termoterapi dan kemoterapi dilakukan berselang setiap jam. Terapi kemotermoterapi dapat mengontrol retinoblastoma sebesar 86% (Honavar, 2001).
Komplikasi dari kemotermoterapi adalah atrofi iris, atrofi diskus optikus, traksi retina, udem diskus optikus dan udem kornea. Kemotermoterapi terutama berguna untuk pasien dengan tumor pada fovea dan nervus optikus dimana pada terapi radiasi atau terapi fotokoagulasi laser mungkin membuat penurunan penglihatan yang signifikan (Honavar, 2001).
II.7.1.6. Fotokoagulasi Laser.
Fotokoagulasi laser direkomendasikan hanya untuk tumor kecil yang berlokasi pada bagian posterior. Tumor ditembak dengan argon laser atau dioda laser atau xenon laser. Tujuan dari terapi ini adalah untuk menghentikan suplai darah ke jaringan tumor karena efek dari laser tersebut adalah koagulasi. Efek samping dari terapi ini adalah ablasi retina, oklusi pembuluh darah retina dan fibrosis pre retinal. Efektifitas terapi didapatkan bila dalam satu bulan dilakukan sebanyak 2-3 kali terapi.
II.7.1.7. Cryoterapi.
Cryoterapi bertujuan untuk membekukan jaringan tumor dan membuat jaringan tumor mengalami infark karena kerusakan pada daerah vaskularisasi tumor. Criyoterapi dapat digunakan sebagai terapi utama terhadap tumor kecil yang terletak di perifer atau tumor sekunder yang kecil yang muncul setelah terapi lain sebelumnya. 90% tumor dengan ukuran <3mm dapat disembuhkan secara permanent dengan komplikasi yang sedikit dan tidak serius. Efek samping dari terapi ini dapat berupa udem konjungtiva dan perdarahan badan kaca (Honavar, 2001).
II.7.1.8. Kemoterapi.
Kemoterapi telah digunakan sebagai terapi terhadap intraokular retinoblastoma sejak tahun 1990. Kemoterapi bertujuan untuk mengurangi ukuran tumor dan digunakan dengan kombinasi terapi lain yang telah dipilihkan terhadap pasien, misalnya Criyoterapi, fotokoagulasi laser atau termoterapi. 
kombinasi dari terapi tersebut dimaksudkan supaya pasien mendapat terapi yang efektif dan menghindarkan dilakukannya terapi EBR dan atau enukleasi bulbi. Obat-obatan yang sering digunakan adalah vincristine, doxorubicin, cyclophosphamide, idarubicin, carboplatin, dan etoposide Indikasi untuk dilakukannya kemoterapi pada intraokular retinoblastoma adalah pada tumor yang besar dan tidak dapat disembuhkan hanya dengan terapi lokal saja pada pasien dengan bilateral retinoblastoma. Kemoterapi dapat juga diindasikan pada pasien dengan unilateral tumor dengan tumor yang kecil namun tidak merespon baik terhadap pengobatan dengan terapi lokal saja. Berbagai macam penelitian dan studi  telah  membuktikan bahwa kombinasi kemoterapi dengan terapi lokal sangat efektif dalam menurunkan kejadian untuk dilakukannya terapi EBR ataupun enukleasi bulbi. Kemoterapi sebagai terapi tunggal kurang efektif dalam mencegah dilakukannya terapi EBR ataupun enukleasi bulbi terutama pasien-pasien retinoblastoma dengan vitreus seed (Chintagumpala, 2007).
II.7.2. Terapi Retinoblastoma Ekstraokular.
            Pasien dengan retinoblastoma ekstraokular mempunyai prognosis yang sangat buruk untuk bertahan hidup. Pada pasien dengan metastase regional biasanya dipilihkan terapi kombinasi kemoterapi dengan terapi EBR ataupun eksenterasi orbita. Pada pasien dengan metastase yang jauh dilakukan kombinasi terapi kemoterapi dosis tinggi dan terapi EBR (Chintagumpala, 2007).
II. 8. Prognosis.
Prognosis dari retinoblastoma sangat bervariasi pada setiap pasien tergantung dari stadium tumor pada saat ditemukan, respon tumor terhadap pengobatan, keadaan genetik dan kondisi kesehatan masing-masing pasien yang berbeda. Pasien retinoblastoma intraokular dengan tumor yang tidak progresif mempunyai angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pasien dengan retinoblastoma ekstraokular mempunyai prognosis yang sangat buruk untuk bertahan hidup. Secara umum, semakin dini penemuan tumor dan semakin dini dilakukannya terapi tumor, semakin besar kemungkinan kita mencegah perluasan tumor melalui saraf optikus dan jaringan orbita. Retinoblastoma dapat berakibat fatal bila tidak mendapatkan pengobatan yang tepat (Vaughan et.al., 2000).

















BAB III
KESIMPULAN

III.1. Kesimpulan
Retinoblastoma adalah suatu neoplasma yang berasal dari neuroretina (sel batang dan kerucut) atau sel glia yang bersifat ganas. Kelainan ini bersifat kongenital autosom dominan bila mengenai kedua mata atau bersifat mutasi somatik bila mengenai satu mata saja.
Penyebab terjadinya Retinoblastoma adalah mutasi gen. Suatu alel di dalam satu lokus di dalam pita kromosom 13q14 mengontrol tumor tersebut, baik dalam bentuk herediter maupun non herediter.
Gejala subyektif pada retinoblastoma sukar didapat karena anak tidak memberikan keluhan apapun. Bila dijumpai pada anak yang lebuh besar, gejala subyektif yang dikeluhkan umumnya adalah penglihatan yang menurun. Gejala obyektif pada retinoblastoma dari yang tersering disadari hingga yang jarang disadari yaitu : Leukokoria ( Amourotic Cat’s Eye), Strabismus, Heterokromia, Glaukoma, Hifema dan Peradangan orbita.
Terapi retinoblastoma disesuaikan sesuai kebutuhan dan stadium perjalanan penyakit yang bervariasi pada setiap pasien. Manajemen terapi terhadap penderita retinoblastoma dibagi menjadi dua yaitu terapi retinoblastoma intraokular dan terapi retinoblastoma ekstraokular. Terapi retinoblastoma intraokular mencakup enukleasi bulbi, terapi EBR, brachytherapy, termoterapi, kemotermoterapi, fotokoagulasi laser, criyoterapi dan kemoterapi. Terapi retinoblastoma ekstraokular mencakup kemoterapi dengan terapi EBR, kemoterapi dosis tinggi dengan terapi EBR dan eksenterasi orbita.
Prognosis dari retinoblastoma sangat bervariasi pada setiap pasien tergantung dari stadium tumor pada saat ditemukan, respon tumor terhadap pengobatan, keadaan genetik dan kondisi kesehatan masing-masing pasien yang berbeda. Pasien retinoblastoma intraokular dengan tumor yang tidak progresif mempunyai angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pasien dengan retinoblastoma ekstraokular mempunyai prognosis yang sangat buruk untuk bertahan hidup.
III.2. Saran
            Diperlukan pengetahuan yang memadai tentang retinoblastoma agar dapat mendiagnosa dan memberikan terapi secara tepat. Penatalaksanaan retinoblastoma secara tepat dapat menyelamatkan nyawa pasien.













DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2002, Atypical Retinoblastoma Presentations: A Challenge for the Treating Opthalmologist, www.emedicine.com

Chintagumpala, M., Barrios, P. C., Paysse, E. A., Plon, S. E., Hurwitz, R., 2007, Retinoblastoma : Review Current Management, www.AlphaMedPress.com

Harbour, J. D., 2001, Molecular Basic Low-Penetrance Retinoblastoma, www.ArchOpthalmol.com

Hardy, R. A., 2000, Retina dan Tumor Intraokular dalam Vaughan, D. G., Asbury, T., Riodaneva, P., (eds), Oftalmology Umum 14th ed., Widya Medika, Jakarta : 217 -219, 369.

Honavar, S. G., Shield, C. L., Shield, J. A., Demirci,H., Naduvilath, T. J., 2001, Intraocular Surgery after Treatment of Retinoblastoma, http://highwire.org

Ilyas, S., 2007, Ilmu Penyakit Mata 3rd ed., Balai Penerbit FK UI, Jakarta : 35-51.

Kaneko, A. dan Suzuki, S., 2006, Eye-Preservation Treatment of Retinoblastoma with Vitreus Seeding, http://highwire.org

Shield, C. L., Mashayekhi, A., Demirci, H., Meadow, A. T., Shield, J. A., 2004, Practical Approach to Management of Retinoblastoma, www.ArchOpthalmol.com

Wijana, N., 1993, Ilmu Penyakit Mata, Indonesia : 158-186.

Wikipedia, 2008, Retinoblastoma, www.wikipedia.com
                     

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template