Sabtu, 16 Juli 2011

Demam Paratiphoid

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


DEMAM PARATIFOID/Salmonelosis
Penyakit infeksi dengan Salmonella (Salmonellosis) ialah segolongan jenis penyakit infeksi yang disebabkan oleh sejumlah besar spesies yang tergolong dalam genus Salmonella, biasanya mengenai saluran pencernaan.

Definisi
            Salmonellosis adalah penyakit akibat termakannya bakteri hidup anggota genus – salmonella ( bakteri gram negative, batang non spora yang memfermentasi glukosa dengan membentuk gas, tumbuh pada temperature 6,7º - 45,6ºC, pH 4,1 – 9,0 ). Sumber pencemaran secara langsung atau tidak langsung berasal dari manusia dan hewan (kucing, anjing, babi, sapi) / unggas dan telurnya serta rodentia sekitar sepertiga kasus salmonellosis berasal dari daging sapi dan ayam.

Gejala klinik Salmonellosis pada manusia di kelompokkan menjadi 2 :
1. Salmonellosis
Causa → Salmonella cholerasuis, S. enteriditis, S.typhimurium, S. infantis.
Masa inkubasi 5 – 72 jam. Tanda klinis : diare, sakit perut, demam, muntah, dehidrasi, kelemahan, enteritis.

2. Typhoid fever (enteric fever)
Causa → Salmonella paratyphi A, B dan C serta S. sendai, S. enteritidis. Bakteri ini mirip Salmonella lain tetapi sering beradaptasi pada manusia.


Epidemiologi
            Besarnya angka pasti demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Insiden di negara maju sangat menurun. Di Eropa Barat dan Jepang insiden tahunan kurang dari 0,2 per 100.000. Di Eropa Selatan insiden tahunan adalah 4,3-14,5 per 100.000. Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara sedang berkembang. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia dan angka mortalitas tinggi. Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) telah memperkirakan bahwa 12,5 juta kasus terjadi setiap tahun di seluruh dunia (tidak termasuk Cina). Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari Amerika Selatan
            Salmonella thypi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai reservoir alamiah). Manusia yang terinfeksi Salmonella thypi dapat mengeksresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella thypi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. thypi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temperatur 63oC).
            Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal). Ledakan serangan yang disebarkan air karena sanitasi jelek dan penyebaran fekal-oral karena ditemukan higiene personal jelek terutama di negara yang sedang berkembang. Kerang dan binatang kerang-kerangan lain yang ditanam di air yang terkontaminasi oleh sampah juga merupakan sumber infeksi yang tersebar. Di Amerika Serikat, sekitar 65% kasus akibat dari perjalanan internasional. Perjalanan ke Asia (terutama India) dan Amerika Tengah atau Selatan (terutama Meksiko) biasanya terlibat.
            Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya.




Etiologi                                                                                 
Sembilan puluh enam persen kasus demam tifoid disebabkan  S. typhi, basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Sisanya disebabkan oleh S. Paratyphi.

Patogenesis
            Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu:
(1)   penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch
(2)   bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial
(3)   bakteri bertahan hidup di aliran darah
(4)   produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.
Pada demam Paratifoid perubahan pada jaringan yang terkena serupa dengan pada demam tifoid, hanya umumnya lebih ringan. Perubahan pada saluran pencernaan dapat mengakibatkan nekrosis permukaan mukosa usus sehingga terjadi diare. Akan tetapi nekrosis pada mukosa usus di atas jaringan limfoid yang menimbulkan ulserasi yang dalam jarang terjadi sehingga jarang sekali ditemukan perforasi atau perdarahan usus.
Dengan ataerjadinya bakteremia (sepsis) dapat terjadi peradangan pada organ lain yang terkena sehingga sesuai dengan lokalisasinya dapat terjadi artritis, osteomielitis, meningitis, abses, dan lain-lain.

Gejala Klinis
            Dapat beraneka ragam, biasanya karena peradangan usus, paru atau karena sepsis. Umumnya terdapat dua bentuk gambaran klinis Salmonelosis, yaitu :
1.    Salmonelosis yang mirip demam tifoid / tifus abdominalis
Masa inkubasi berlansung rata-rata 12 hari. Selama masa tunas mungkin ditemukan gejala prodromal yaitu nyeri kepala, tidak enak badan, lesu, tidak bersemangat, sakit perut. Selanjutnya gejala klinis serupa dengan tifus abdominalis, akan tetapi biasanya lebih ringan, yaitu :
a.       Demam yang berlangsung 1 – 3 minggu biasanya tidak terlalu panas, kecuali bila terjadi sepsis.
b.      Gangguan pada saluran pencercaan berupa rasa mual, nyeri perut, muntah ,dan kadang-kadang diare. Limpa biasanya tidk membesar. Hati membesar dan nyeri pada perabaan. Sering ditemukan perut kembung.
c.       Kesadaran mungkin menurun hanya sampai apatis, kecuali bila terjadi meningitis atau komplikasi dehidrasi asidosis.
d.      Pada paratifus B terdapat leukopenia, sedangkan pada paratifus lain mungkin terdapat leukositosis.
e.       Komplikasi dibandingkan dengan tifoid fever, yaitu paratifoid C lebih sering mengakibatkan terjadinya lesi bernanah pada sendi, tulang dan jaringan lunak. Osteomielitis karena salmonella tersebut lebih sering terjadi pada penderita dengan kelainan hemoglobin.
2.    Salmonelosis yang mirip dengan keracunan makanan (gastroenteritis).

Jalur masuknya bakteri ke dalam tubuh
Kuman masuk melalui makanan/minuman, dibutuhkan jumlah bakteri 105-109 untuk dapat menimbulkan infeksi. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati. Bakteri yang tetap hidup akan masuk ke dalam usus halus (ileum). Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus sehingga mencapai folikel limfe usus halus. Kuman ikut aliran limfe mesenterika ke dalam sirkulasi darah (bakteremia primer). Pada tahap berikutnya, S. typhi mencapai jaringan retikuloendotelial di organ hepar dan lien. Salmonella thypi mangalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hepar dan lien.
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi:10-14 hari), yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun penjamu maka Salmonella thypi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella thypi adalah hepar, lien, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.

Langkah promotif/prefentif
            Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S. thypi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella thypi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57oC untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi1.
            Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57oC beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman Salmonella thypi. Penurunan endemisitas suatu negara atau daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid1.
Ø  Higiene perorangan dan lingkungan
            Demam tifoid ditularkan melalui rute oro-fekal, maka pencegahan utama memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan limbah feses.
Ø  Imunisasi
            Saat serkarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella thypi.
·         Vaksin yang berisi kuman Salmonella thypi , S. parathypi A, S. parathypi B yang diinaktifkan-panas-fenol (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan, namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas (51-76%) dan disertai dengan pengaruh yang merugikan termasuk demam, reaksi lokan, dan nyeri kepala pada sekurang-kurangnya 25% penerima.
Dua dosis 0,5 mL diberikan secara subkutan berjarak 4 minggu atau lebih telah direkomendasikan untuk anak usia 10 tahun atau lebih, 0,25 mL perdosis direkomendasikan untuk anak yang lebih muda.
·         Vaksin tifoid oral (Ty21-a) berisi kuman Salmonella thypi hidup yang dilemahkan.  Diberikan pada usia > 6 tahun dengan interval selang sehari (hari 1, 3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Beberapa penelitian besar terbukti manjur (67-82%). Pengaruh merugikan yang berarti jarang. Vaksin ini belum beredar di Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
·         Vaksin polisakarida (capsular Vi polysaccharide), pada usia 2 tahun atau lebih, diberikan secara intramuskular, memberikan perlindungan (60-70%), dan diulang setiap 3 tahun.
Vaksin tifoid dianjurkan pada wisatawan ke daerah endemik, terutama Amerika Latin, Asia Tenggara dan Afrika. Wisatawan demikian perlu diperingatkan bahwa vaksin bukan pengganti higiene perseorangan dan pemilihan makanan dan minuman hati-hati, karena tidak ada vaksin yang mempunyai kemanjuran mendekati 100%. Vaksin juga dianjurkan pada individu yang berhubungan intim dengan pengidap yang telah terdokumentasi dan untuk mengendalikan ledakan serangan.

Langkah diagnostik
Ø  Anamnesis
Pada anak periode inkubasi demam tifoid antara 5-10 hari dengan rata-rata antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur salmonella, status nutrisi dan imunologik penjamu serta lama sakit di rumahnya.
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam, yang turun secara berangsur-angsur pada minggu keempat. Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi , pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma.
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah malaise, letargi, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung, radang tenggorokan, pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang dan ikterus.
Ø  Pemeriksaan fisik
Pada kasus yang berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/sakit berat. Bahkan dapat juga dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, obstipasi atau obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan Barat pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali. Kadang-kadang dijumpai ronki pada pemeriksaan paru.
Rose spot, suatu ruam makolopapular karena emboli basil dalam kapiler kulit yang berwarna merah, dengan ukuran 1-5 mm, lesi agak timbul, dan pada penekanan pucat, sering kali dijumpai pada daerah, abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung, terjadi pada 50% penderita. Mereka tampak dalam kelompok 10-15 lesi. Ruam ini muncul pada hari ke7-10 dan bertahan selam 2-3 hari.
Ø  Pemeriksaan penunjang
Darah tepi perifer
·         Anemia normokromik normositik, pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau perdarahan usus.
·         Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/µl3. Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat maningkat mencapai 20.000-25.000/µl3.
·         Limfositosis relatif
·         Trombositopenia terutama pada demam tifoid berat.
Pemeriksaan serologi
·         Serologi widal
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen Salmonella typhosa. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar anti dapat ditentukan, yaitu pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat diagnosis. Banyak senter mengatur pendapat apabila terjadi kenaikan titer S. typhi titer O >1:200 atau kenaikan 4 kali titer maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan, meskipun dapat terjadi positif maupun negatif palsu akibat adanya reaksi silang antara spesies salmonella. Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk diagnosis, karena dapat tetap tinggi setelah mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Tidak selalu pemeriksaan widal positif walaupun penderita sungguh-sungguh menderita tifoid sebagaimana terbukti pada autopsi setelah penderita meninggal dunia.

Sebaliknya titer dapat positif karena keadaan sebagai berikut:
(1)   Titer O dan H tinggi karena terdapatnya aglutinin normal, karena infeksi basil Coli patogen dalam usus
(2)   Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat
(3)   Terdapat infeksi silang dengan Rickettsia (Weil Felix)
(4)   Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil peroral atau pada keadaan infeksi subklinis.
·         Kadar IgM dan IgG (Typhi-dot)
Pemeriksaan biakan salmonela
·         Biakan empedu
Basil Salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah penderita biasanya dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin dan feses dan mungkin akan tetap positif dalam waktu yang lama. Oleh karena itu pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan pemeriksaan negatif dari contoh urin dan feses 2 kali berturut-turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita telah benar-benar sembuh dan tidak menjadi pembawa kuman (karier)
·         Biakan sumsum tulang
Masih positif sampai minggu ke 4. biakan ini mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapatkan pada 90% kasus dan kurang dipengaruhi oleh terapi antimikroba sebelumnya. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.
Pemeriksaan radiologi
·         Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.
·         Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau perdarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak distribusi udara tak merata, tampak air fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar dan udara bebas pada abdomen.
Diagnosis banding
·         Stadium dini: influenza, gastroenteritis, bronkitis, bronkopneumonia
·         Tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, malaria
·         Demam tifoid berat: sepsis, leukemia, limfom.

Komplikasi
Komplikasi kebanyakan terjadi setelah 1 minggu penyakit. Dapat terjadi pada:
1.      Usus halus (intraintestinal)
Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi.
Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal, yaitu:
a.       Perdarahan usus
Dilaporkan dapat terjadi pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena.
b.      Perforasi usus
Dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah itu dan terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara di antara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c.       Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, defance muskulare, dan nyeri pada penekanan.
2.      Komplikasi di luar usus (ekstraintestinal)
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu meningitis, kolesistitis, ensefelopati dan lain-lain. Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu bronkopneumonia.
Dehidrasi dan asidosis dapat timbul karena masukan makanan yang kurang dan perspirasi akibat suhu tubuh yang tinggi.

Terapi
Medikamentosa
·         Antibiotik
Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteremia.
o   Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari atau 5-7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus dengan malnutrisi pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari untuk mengurangi angka komplikasi.
o   Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau intravena, dibagi dalam 4 dosis selama 10 hari memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lebih lama.
o   Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral selama 10 hari, memberikan hasil yang kurang baik dibanding kloramfenikol.
o   Seftriakson 80-100 mg/kgbb/hari, intravena atau intramuskular, dibagi dalam satu atau dua dosis (maksimal 4 gram/hari), selama 5-7 hari. Diberikan untuk strain yang resisten.
o   Sefiksim 10-15 mg/kgbb/hari, oral dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternatif, terutama apabila jumlah leukosit <2000/μl atau dijumpai resistensi terhadap S. typhi.
·         Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran. Deksametason 3 mg/kgbb intravena, diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan dengan 1mg/kgbb tiap 6 jam sampai 48 jam.
Bedah
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus.
 Suportif
Demam tifoid ringan dapat dirawat dirumah
·         Tirah baring
·         Isolasi memadai
·         Kebutuhan cairan dan kalori dicukupi
Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit
·         Cairan dan kalori
o   Terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila perlu asupan cairan dan kalori diberikan melalui sonde lambung.
o   Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhan dengan kadar natrium rendah.
o   Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan dengan pemberian oral/parenteral.
o   Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik.
o   Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan oksigen.
o   Pelihara keadaan nutrisi.
o   Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit.
·         Antipiretik, diberikan apabila demam >39oC, kecuali pada riwayat kejang demam dapat diberikan lebih awal
·         Diet
o   Makanan tidak berserat dan mudah dicerna
o   Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat dengan kalori cukup
·         Transfusi darah: kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan perforasi usus.
Monitoring
Ø  Terapi
  • Evaluasi demam reda dengan memonitor suhu. Apabila pada 4-5 setelah pengobatan demam tidak reda, maka harus segera kembali dievaluasi adakah komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S. typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan diagnosis.
  • Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam dalam 24 jam tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.
·         Tumbuh kembang
            Infeksi demam tifoid merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak.
Prognosis
            Prognosis demam tifoid tergantung pada ketepatan terapi, usia penderita, keadaan kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella penyebab dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitasnya < 1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
            Relaps sesudah respon klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak diobati dengan antibiotik. Pada penderita yang telah mendapat terapi anti mikroba yang tepat, manifestasi klinis relaps menjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah penghentian antibiotik dan menyerupai penyakit akut namun biasanya lebih ringan dan lebih pendek. Individu yang mengekskresi S. thypi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronis terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insiden penyakit saluran empedu (traktus biliaris) lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum.


PEMBAHASAN

            Berdasarkan gejala-gejala yang diperoleh dari anamnesa (demam sejak 4 hari, demam naik turun dan tidak terlalu tinggi, muntah (+) ), dan dari pemeriksaan fisik ditemukan lidah kotor, nyeri epigastrik, dapat dimungkinkan pasien menderita demam paratifoid, hal ini sesuai dengan kriteria diagnostik pada tinjauan pustaka untuk menegakkan diagnosis demam paratifoid. Ini diperjelas dengan hasil widal yang positif pada titer salmonella Paratyphi B & C, uji Widal ini sendiri adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosis demam paratifoid.. Berdasarlam tinjauan pustaka yang ada, penanganan pada kasus diatas dapat menggunakan  antibiotik ceftriaxon 80mg-100 mg/hari, selama 5 – 7 hari. Ceftriaxon dipilih dengan pertimbangan klorampenikol tidak dipilih karena efek samping anemia yg ingin dihindari. Apabila pasien diatas masih demam maka diberikan paracetamol 10-15 mg/kgbb/kali pemberian, sebanyak 3 kali pemberian. Sehingga dosis yang diberikan 3 x Cth 1¼.
            Pada prinsipnya pada pasien dengan kondisi diatas diperlukan diit lambung (makanan lunak), dengan syarat:
1.      mudah dicerna, tidak banyak mengandung serat.
2.      tidak berbumbu tajam dan merangsang saluran pencernaan.
3.      bahan makanan tidak menimbulkan gas.
4.      diberikan dalam porsi kecil tetapi sering.





DAFTAR PUSTAKA

1.      Anonim.Taxegram.http:// www.farmasiku.com/index.php
3.      Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta. 2004.
4.      Hasan R, dkk. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2002.
5.      Mansjoer A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. 2000.
6.    Situs Resmi RSPI SS 2003 – 2007 Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso, Jakarta
7.    Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. 2005. Jakarta
8.    Dr. Andi Utama, Peneliti Puslit Bioteknologi-LIPI.www.iptek.com
9.    Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.htm
10.                        http://www.medicastore.com/med/index.php.Uji tuberkulin dan klasifikasi TB
11.                        Jurnal Tuberkulosis Indonesia.Vol._3 No._2 September 2006. Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia
12.                        Kombinasi Dosis Tetap: Upaya Atasi Resistensi TB.Majalah Farmacia Edisi April 2006 , Halaman: 32 (9 hits)
13.                        Tuberculosis Facts Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template