Sabtu, 16 Juli 2011

Tuberkulosis

                                                        BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
            Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit lama, namun sampai saat ini masih belum bisa dimusnahkan. Jika dilihat secara global, TBC membunuh 2 juta penduduk dunia setiap tahunnya, dimana angka ini melebihi penyakit infeksi lainnya. Bahkan Indonesia adalah negara terbesar ketiga dengan jumlah pasien TBC terbanyak di dunia, setelah Cina dan India. Sulitnya memusnahkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis ini disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya adalah munculnya bakteri yang resisten terhadap obat yang digunakan. Karena itu, upaya penemuan obat baru terus dilakukan.
            Berbagai kemajuan telah dicapai, antara lain program DOTS dimana Indonesia hampir mencapai target 70/85, artinya sedikitnya 85% diantaranya berhasil disembuhkan. Di Indonesia juga diperkenalkan beberapa program seperti HDL (Hospital DOTS Linkage) yang melakukan program DOTS di RS, PPP (public private partnership) atau PPM (public private mix) yang melibatkan sektor private dalam penanggulangan TB di negara kita, juga akan dilakukan program DOTS plus untuk menangani MDR TB.
           
Sekitar 8 juta kasus baru terjadi setiap tahun di seluruh dunia dan diperkirakan sepertiga penduduk dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis secara laten. Kemampuan untuk mendeteksi secara akurat infeksi M. Tuberculosis menjadi sangat penting untuk mengendalikan epidemi tersebut. Cara yang cepat untuk mendeteksi infeksi M. Tuberculosis akan membantu mempercepat diagnosis dini pada pasien yang secara klinis tersangka tuberkulosis dan segera diikuti penatalaksanaa yang tepat. Pemeriksaa in vitro saat ini telah diteliti sebagai alternatif terhadap uji tuberkulin berupa pemeriksaan interferon gamma (IFN-g).

I.2 Tujuan Penulisan
I.                   Memenuhi sebagian tugas untuk program pendidikan profesi di bagian Ilmu Kesehatan Anak, RSUD KOTAMADYA SALATIGA.
II.                Memahami dan mempelajari lebih dalam tentang pengertian, etiologi, epidemiologi, patogenesis, komplikasi, penegakan diagnosis, terapi dan pencegahan PKTB.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.       DEFINISI
  Penyakit Tuberkulosis: adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
  Infeksi TB: infeksi pada orang yang terpapar Mycobacterium tuberculosis tanpa adanya gejala penyakit, juga disebut infeksi laten TB. Umumnya didiagnosis dengan tes tuberkulin kulit. Penyakit TB: infeksi TB dengan gejala penyakit, juga disebut sebagai TB aktif. 2

II.2.       EPIDEMIOLOGI
  Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Menurut perkiraan WHO tahun 1990, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan AIDS. Jumlaj seluruh kasus TB anak dari 7 Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penderita TB dengan angka kematian yang bervariasi dari 0%-14,1%. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%) sedangkan untuk bayi kurang dari 12 bulan didapatkan 16,5%.
   Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun.
  Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).
  1.   Risiko Infeksi TB
  Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah sebagai berikut : anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TB aktif, daerah endemis, penggunaan obat intravena, kemiskinan, serta lingkungan yang tidak sehat (tempat penampungan atau panti perawatan). Faktor risiko yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius. Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena kuman TB sangat jarang ditemukan dalam sekret endobrokial, dan jarang terdapat batuk.
  1.   Risiko Penyakit TB
  Orang yang telah terinfeksi TB, tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan progresi infeksi TB menjadi sakit TB.
  Faktor risiko yang pertama adalah usia. Anak 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB, mungkin karena imunitas selularnya belum berkembang sempurna (imatur). Namun, risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring pertambahan usia. Faktor risiko yang lain adalah konversi tes tuberkulin dalam 1-2 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, pengobatan imunosupresi), diabetes melitus, gagal ginjal kronik, dan silikosis. Faktor yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB adalah status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran, dan pendidikan yang rendah.

II.3.       PATOGENESIS
              Infeksi Primer
              Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar linfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu.
  Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis.
  Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB) :
  Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.1
              Perjalanan Alamiah TB yang Tidak Diobati
  Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50 % dari penderita TB akan meninggal, 25 % akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25 % sebagai kasus kronik yang tetap menular (WHO 1996).

II.4.       DIAGNOSIS
              Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. Tuberculosis pada pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau pada biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh 2 hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen (sputum). Jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada dewasa karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe halus dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu, tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pada dewasa. Kuman BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml dahak.
              Kesulitan kedua, pengambilan specimen/sputum sulit dilakukan. Pada anak, walaupun batuknya berdahak, biasanya dahak akan ditelan sehingga diperlukan bilasan lambung yang diambil melalui nasogastrik tube (NGT) dan harus dilakukan oleh petugas berpengalaman. Cara ini tidak menyenangkan bagi pasien. Dahak yang representative untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah dahak yang kental dan purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml.
  Karena berbagai alasan di atas, diagnosis TB anak bergantung pada penemuan klinis dan radiologis, yang keduanya sering kali tidak spesifik. Kadang-kadang, TB anak ditemukan karena ditemukannya TB dewasa di sekitarnya. Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, pemeriksaan laboratorium, dan foto rontgen dada. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin positif, dan foto paru yang mengarah pada TB (sugestif TB) merupakan bukti kuat yang menyatakan anak telah sakit TB.

II.4.1.    MANIFESTASI KLINIK
              Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan bergantung pada beberapa factor. Faktor yang berperan adalah kuman TB, pejamu, serta interaksi antara keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah kuman dan virulensi, sedangkan factor pejamu bergantung pada usia dan kompetensi imun serta kerentanan pejamu pada awal terjadinya infeksi. Anak kecil seringkali menunjukkan gejala walaupun pada foto roentgen sudah tampak pembesaran kelenjar hilus.
II.4.1.1. Manifestasi Sistemik
              Sebagian besar anak dengan TB tidak memperlihatkan gejala dan tanda selama beberapa waktu. Sesuai dengan sifat kuman TB yang lambat membelah, manifestasi klinis TB umumnya berlangsung bertahap dan perlahan, kecuali TB diseminata yang dapat berlangsung dengan cepat dan progresif. Seringkali, orangtua tidak dapat menyebutkan secara pasti kapan berbagai gejala dan tanda klinis tersebut mulai timbul. Tuberkulosis yang mengenai organ manapun dapat memberikan gejala dan tanda klinik yang tidak khas, terkait dengan organ yang terkena. Keluhan sistemik ini diduga berkaitan dengan peningkatan tumour necrosis factor  (TNF ).
              Pada sebagian kasus TB paru pada anak, tidak ada manifestasi respiratorik yang menonjol. Batuk kronik merupakan gejala tersering pada TB paru dewasa, sedangkan pada anak, gejala batuk kronik lebih sering disebabkan oleh asma. Fokus primer TB paru pada anak umumnya terdapat di daerah parenkim yang tidak mempunyai reseptor batuk. Gejala batuk kronik pada TB anak dapat timbul bila limfadenitis regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk secara kronik. Batuk berulang dapat timbul karena anak dengan TB mengalami penurunan imunitas tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi respiratorik akut (IRA) berulang. Gejala sesak nafas jarang dijumpai,kecuali pada keadaan sakit berat yang berlangsung akut, misalnya pada TB milier dan efusi pleura.
  Secara ringkas, gejala umum atau nonspesifik pada TB anak adalah sebagai berikut
1.         Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi
2.         Nafsu makan tidak ada dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik dengan adekuat (failure to thrive)
3.         Demam lama (≥2 minggu) dan / berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria dan lain-lain), yang dapat disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi.
4.         Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.
5.         Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan.
6.         Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare.
7.          
II.4.1.2. Manifestasi Spesifik
              Manifestasi klinis yang spesifik bergantung pada organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat, tulang, dan kulit.
              Gejala spesifik sesuai organ yang terkena adalah sebagai berikut :
  1.   TB kelenjar
Kelenjar limfe superfisialis TB sering dijumpai, kelenjar yang sering  terkena adalah kelenjar limfe kolli anterior atau posterior, juga dapat terjadi di aksila, inguinal, submandibula, dan supraklavikula. Secara klinis, kelenjar yang terkena biasanya multipel,unilateral, tidak nyeri tekan, tidak panas pada perabaan, dan dapat saling melekat (confluence) satu sama lain. Perlekatan ini terjadi akibat adanya inflamasi pada kapsul kelenjar limfe.
  1.   TB otak dan saraf
-          Meningitis TB. Meningitis TB terjadi akibat penyebaran langsung kuman TB ke jaringan selaput saraf pada tipe penyebaran acute generalized hematogenic. Walaupun jarang, meningitis TB dapat juga terjadi pada protacted hematogenic spread akibat pecahnya suatu fokus TB lama ke dalam saluran vaskular. Mekanisme lain adalah pecahnya fokus lama di selaput meningeal yang terbentuk pada masa occult hematogenic spread ke dalam ruang subarakhnoid, yang merupakan bentuk lain reaktivasi TB. Proses patologi biasanya terbatas di basal otak. Gejala biasanya berhubungan dengan gangguan saraf kranial, nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku kuduk, dan kejang.
-          Tuberkuloma otak
Bentuk TB saraf pusat yang lain adalah tuberkuloma, yang    manifestasi klinisnya lebih samar daripada meningitis TB. Manifestasi klinisnya sesuai dengan lesi fokal otak (proses desak ruang) yang tumbuh secara lambat, misalnya nyeri kepala, muntah.
  1.   TB tulang dan sendi
-          Tulang punggung (spondilitis): gibbus
-          Tulang panggul (koksitis): pincang
-          Tulang lutut (gonitis): pincang dan/ bengkak
-          Tulang kaki dan tangan
-          Spina ventosa (daktilitis)
  Dengan gejala berupa pembengkakan sendi, gibbus, pincang, lumpuh,   sulit membungkuk.
  1.   TB kulit : skrofuloderma
  2.   TB mata
-          konjungtivitis fliktenularis
-          Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)
  1.   TB organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal, dll.

II.4.2.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
II.4.2.1. Uji Tuberkulin
              Segera setelah ditemukan basil TB, Robert Koch mengambil konsentrat steril dari biakan cair yang sudah mati disebut dengan nama tuberkulin. Uji tuberkulin adalah salah satu metode yang digunakan untuk mediagnosis infeksi TB. Ini sering digunakan untuk skrening individu dari infeksi laten dan menilai rata-rata infeksi TB pada populasi tertentu. Uji tuberkulin dilakukan untuk melihat seseorang mempunyai kekebalan terhadap basil TB, sehingga sangat baik untuk mendeteksi infeksi TB. Tetapi uji tuberkulin ini tidak dapat untuk menentukan M. Tuberculosis tersebut aktif atau tidak aktif (laten). Oleh sebab itu harus dikonfirmasi dengan ada tidaknya gejala dan lesi pada fotot thorak untuk mengetahui seseorang tersebut terdapat infeksi TB atau sakit TB.
              Tuberkulin
              Uji tuberkulin merupakan salah satu dasar kenyataan bahwa infeksi oleh M. Tuberculosis akan menyebabkan reaksi delayed-type hpersensitivity terhadap komponen antigen yang berasal dari ekstrak M. Tb atau tuberkulin. Ada 2 perusahaan yang memproduksi tuberkulin (PPD) yaitu PPD dari USA : Parke-Davis (Aplisol) dan Tubersol. PPD (Purified Protein Derivat) yang dipakai ada 2 jenis yaitu PPD-S dibuat oleh Siebert dan Glenn tahun 1939 yang sampai sekarang digunakan sebagai standar internasional. Sebagai dosis standar adalah 5 Tuberkulin Unit (TU) PPD-S yang diartikan aktivitas uji tuberkulin ini dapat mengekskresikan 0,1 mg/0,1 ml PPD-S. Dosis lain yang pernah dilaporkan adalah dosis 1 dan 250 TU, tetapi dosis ini tidak digunakan karena akan menghasilkan reaksi yang kecil dan membutuhkan dosis yang besar. PPD jika diencerkan dapat diabsorbsi oleh gelas dan plastik dalam jumlah yang bervariasi, sehingga untuk menghindarinya didalam sediaan tersebut terabsorbsi. Standar tuberkulin ada 2 yaitu PPD-S dan PPD RT 23, dibuat oleh Biological Standards Staten, Serum Institute, Copenhagen, Denmark. Dosis satndar 5 TU PPD-S sama dengan dosis ½ U PPD RT 23. WHO merekomendasikan penggunaan 1 TU PPD RT 23 Tween 80 untuk penegakan diagnosis TB guna memisahkan terinfeksi TB dengan sakit TB.
              Imunologi
              Reaksi uji tuberkulin yang dilakukan secara intradermal akan menghasilkan hipersensitivitas tipe IV atau delayed-type hypersensitivity (DTH). Masuknya protein TB saat injeksi akan menyebabkan sel T tersensitisasi dan menggerakkan limfosit ke tempat suntikan. Limfosit akan merangsang terbentuknya indurasi penarikan sel inflamasi ke tempat suntikan. Protein tuberkulin disuntikkan di kulit, kemudian diproses dan dipresentasikan ke sel dendritik/Langerhans ke sel T melalui MHC-II, Sitokin yang diproduksi oleh selT, akan membentuk molekul MHC-II , Sitokin yang diproduksi oleh sel T, akan membentuk molekul adhesi endotel. Monosit keluar dai pembuluh darah dan masuk ke tempat suntikan yang berkembang menjadi makrofag. Prodik sel T dan makrofag. Produk sel T dan makrofag menimbulkan edema dan bengkak. Test kulit positif maka akan tampak edema lokal atau infiltrat maksimal 48-72 jam setelah suntikan.
              Cara Pemberian dan Pembacaan
              Uji tuberkulin dilakukan dengan injeksi 0,1 ml PPD secara intradermal (dengan metode mantoux) di volar/permukaan lengan bawah. Injeksi tuberkulin menggunakan jarum gauge 27 dan sspuit tuberkulin, saat melakukan injeksi harus membentuk sudut 30° antara kulit dan jarum. Penyuntikan dianggap berhasil jika pada saat menyuntikkan didapatkan indurasi diameter 6-10mm. Uji ini dibaca dalam 48-72 jam setelaj suntikan. Hasil uji tuberkulin dicatat sebagai diameter iindurasi bukan kemerahan dengan cara palpasi. Standardisasi digunakan diameter indurasi diukur transversal dari panjang axis lengan bawah dicatat dalam milimeter.
                
              Interpretasi Uji Tuberkulin          
              Untuk menginterpretasikan uji tuberkulin dengan tepat, harus mengetahui sensitivity dan spesifitas juga uji ramal positif dan uji ramal negatif. Seperti pada uji diagnostik lain,uji tuberkulin mempunyai sensitiviti 100% dan spesifitas 100%.
  Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik yang kuat. Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TB yang sudah sangat lama dikenal, tetapi hingga kini masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada anak sensitivitas dan spesifitas di atas 90%.2 Hasil uji tuberkulin yang positif dapat diartikan sebagai seseorang tersebut sedang terinfeksi basil TB. Terpenting disini adalah jika seseorang sedang terinfeksi M. Tb apakah sedang terinfeksi atau sakit TB. Sehingga guideline ACHA menyebutkan jika hasil uji tuberkulin positif maka harus dikonfirmasikan dengan pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan dahak. Jika hasil foto toraks tersebut normal maka dapat dilakukan pemberian terapi TB laten, tetapi jika hasil foto toraks terjadi kelainan dan menunjukkan ke arah TB maka dapat dimasukkan dalam M. Tb aktif. Spesifitas uji tuberkulin dapat berubah menjadi 95-99% tergantung dari prevalensi infeksi bukan TB pada suatu populasi. Jika spesifitas turun akan meningkatkan resiko cross-reaction. Curley mendapatkan spesitivitas tuberkulin meningkat dengan meningkatnya cut off point dengan 15 mm. Manuhutu mendapatkan cut off point antara reactor dan non reactor 12 mm. Pembacaan uji tuberkulin dilakukan dalam waktu 48-72 jam, tetapi dianjurkan untuk 72 jam. Hasil yang dilaporkan adalah indurasi lokal (bukan kemerahan) dengan palpasi, diameter transversal dan dicatat dalam milimeter. Interpretasi ukuran diameter uji tuberkulin seperti pada tabel
Tabel 4. Interpretasi ukuran diameter reaksi uji tuberkulin.
  - Indurasi 5 mm
a. Close contac dgn individu yang diketahui/ suspek TB dalam waktu 2 tahun.
b. Suspek TB aktif dengan bukti dari klinis dan radiologis.
c. Terinfeksi HIV.
d. Individu dengan perubahan radiologis berupa fibrotik, tanda TB.
e. Close contac dgn individu yang diketahui/ suspek TB dalam waktu 2 tahun.
f. Suspek TB aktif dengan bukti dari klinis dan radiologis.
g. Terinfeksi HIV.
h. Individu dengan perubahan radiologis berupa fibrotik, tanda TB.
i. Individu yang transplantasi organ dan imuncompromised.
  - Indurasi  10 mm
a. Datang dari daerah dengan prevalensi tinggi TB.
b. Individu dengan HIV negatip tetapi pengguna napza.
c. Konversi uji tuberkulin menjadi 10 mm dalam 2 tahun
d. Individu dengan kondisi klinis yang merupakan resiko tinggi TB :
· DM
· Malabsorbsi
· CRF
· Tumor di leher dan kepala
· Leukemia, lymphoma
· Penurunan BB > 10%
· Silikosis
  - Indurasi ³15 mm
a. Bukan resiko tinggi tertular TB
b. Konversi uji tuberkulin menjadi > 15 mmm setelah 2 tahun
              Diameter indurasi 10 mm dinyatakan positif tanpa melihat status BCG pasien. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter 10-15 masih mungkin disebabkan oleh BCGnya selain oleh infeksi TB alamiah. Sedangkan bila ukuran indurasi ≥15 mm hasil positif ini lebih mungkin karena infeksi TB alamiah dibandingkan karena BCGnya. Pengaruh BCG terhadap reaksi positif paling lama bertahan hingga 5 tahun setelah penyuntikan. Pada anak, kontak erat dengan pasien TB dewasa aktif dan BTA positif, atau anak dengan imunokompromais misalnya gizi buruk, keganasan dan lain-lain, diameter ≥5 mm harus dicurigai telah terinfeksi TB.
Uji tuberculin positif dapat dijumpai pada keadaan sebagai berikut
  1. Infeksi TB alamiah
    1. Infeksi TB tanpa sakit
    2. Infeksi TB dan sakit TB
    3. Pasca terapi TB
  2. Imunisasi BCG
  3. Infeksi Mikobakterium atipik/M. Leprae
Uji tuberculin negative pada 3 kemungkinan keadaan berikut :
  1. Tidak ada infeksi TB
  2. Dalam masa inkubasi infeksi TB
  3. Anergi : kedaan penekanan system imun oleh berbagai keadaan sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberculin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB.
Pada saat ini, telah ditemukan pemeriksaan imunitas seluler dengan cara lain, yaitu enzyme-linked immunospot interferon gamma untuk tuberculosis (ELISpot TB) yang mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara hasil positif yang disebabkan oleh infeksi M. tb, BCG, dan oleh infeksi M. atipik. Namun, pemeriksaan ini belum dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB. Saat ini, ELISpot TB belum dapat digunakan dalam praktek klinis mengingat harganya masih mahal dan belum tersedia di Indonesia.

II.4.2.2. Radiologi
              TB lebih dari 95% terjadi di parenkim paru, hingga foto toraks posteroanterior dan lateral selalu dilakukan. Gambaran rontgen paru pada TB tidak khas.
               Secara umum gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai berikut :
·         Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
·         Konsolidasi segmental/lobar
·         Milier
·         Kalsifikasi
·         Atelektasis
·         Kavitas
·         Efusi pleura

II.4.2.3. Serologis
              Pada anak, terutama anak kecil, sulit mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan basil TB. Karena sulitnya, maka dicari pemeriksaan alternatif yang mudah pelaksanaanya yaitu pemeriksaan serologi (imunitas humoral). Namun sampai saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat memenuhi harapan tersebut. Yang akhir-akhir ini diteliti adalah deteksi anti-interferon-gamma autoantibody. Pemeriksaan in vitro ini awalnya diteliti di peternakan sapi, berdasarkan inkubasi darah dengan purified protein derivate selanjutnya dilakukan pemeriksaan imunologi IFNg yang dilepaskan sel T sebagai reaksi terhadap PPD. Black meneliti hubungan antara kadar IFNg dalam darah dengan hasil uji tuberkulin pada 554 orang sehat. Terdapat hubungan yang kuat (p<0,001) antara median IFNg dengan respon DTH. Baku emas untuk infeksi TB laten belum ada maka sulit untuk menilai secara langsung apakah uji yang baru lebih baik daripada uji tuberkulin.

II.4.2.4. Patologi Anatomik
              Pemeriksaan patologi anatomik dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epitelod yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkejuan atau rea nekrosis atau kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya multinucleated giant cell. Diagnostik histopatologik dapat ditegakkan dengan menemukan perkejuan, sel epiteloid, limfosit dan sel datia langhans. Spesimen yang paling mudah dan paling sering ditemukan adalah limfadenopati kolli, dengan pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus. Pemeriksaan ini mempunyai perancu yaitu infeksi M. Atipik dan limfadenopati BCG yang secara histopatologis sulit dibedakan dengan TB.
II.4.2.5. Bakteriologis
              Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari 2 macam yaitu pemeriksaan mikroskopis hapusan langsung untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan M.tuberculosis. Pemeriksaan tersebut pada anak sukar dilakukan karena sulitnya mendapat spesimen, sehingga biasanya dilakukan bilas lambung 3 hari berturut-turut. Hasil pemeriksaan mikroskopis pada anak sebagian besar negatif. Sedangkan hasil biakan M.tuberculosis memerlukan waktu yang lama sekitar 6-8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya bisa diperoleh lebih cepat (1-3 minggu), yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi biayanya mahal dan secara tehnologi lebih rumit.

II.4.3.    Penegakan Diagnosis
              Pada uraian di atas terlihat bahwa tidak ada satupun data klinis maupun penunjang selain pemeriksaan bakteriologis yang dapat memastikan diagnosis TB. Oleh karena itu, dalam penegakan diagnosis TB perlu analisis kritis terhadap sebanyak mungkin fakta. Karena sulitnya menegakkan TB pada anak, banyak usaha membuat pedoman diagnosis dengan sistem skoring dan alur diagnostik. Misalnya pedoman yang dibuat oleh WHO, Stegen and Jones, dan UKK Pulmonologi PP IDAI.
  Untuk mendiagnosis TB di sarna yang memadai, sistem skoring digunakan sebagai uji tapis. Setelah itu dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang lainnya, seperti bilasan lambung (BTA dan kultur M, tuberculosis), patologi anatomik,pungsi pleura,pungsi lumbal, CT-Scan, funduskopi, serta foto rontgen tulang dan sendi.
Tabel 1. Sistem skoring diagnosis tuberkulosis anak
Parameter                    0                      1                      2                                  3
Kontak TB      tidak jelas   laporan keluarga,BTA  kavitas (+) BTA    BTA (+)
                                           (-) atau tidak tahu             tidak jelas          positif (≥10
Uji tuberkulin  negatif                                                                           mm/≥5mm
                                                                                                              pada keadaan
                                                                                                              imunosupresi
Berat badan/                       BB/TB <90%/ BB/U    klinis gizi buruk/
Keadaan gizi                      <80%                            BB/TB<70% atau
                                                                                BB/U <60%
Demam tanpa                    ≥ 2 minggu
Sebab jelas                 

Batuk                                ≥ 3 minggu


Pembesaran klj                  ≥ 1cm, jml >1,
limf kolli,aksila.                 Tidak nyeri
inguinal

Pembengkakan                 ada pembengkakan
tlg/sendi panggul,
lutut,falang

Foto rontgen     normal/    - infiltrat                       - kalsifikasi +
toraks              tdk jelas     - pembsrn klnj                infiltrat
                                          - konsolidasi sgmen     - pbesaran klnj
                                            tal/lobar                        + infiltrat
                                          - atelektasis

Catatan:
  • Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
  • Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis
  • Berat badan dinilai saat datang (moment opname)
  • Demam dan batuk tidak ada respon sesuai baku
  • Foto rontgen bukan alat diagnostik utama pada TB anak
  • Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
  • Didiagnosis TB jika jumlah skor ≥6 (skor maksimal 14). Cut off point ini masis bersifat tentatif/sementara, nilai definitif menunggu hasil penelitian yang sedang dilaksanakan

II.5.     TATALAKSANA
            Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara pemberian medikamentosa, penataan gizi, dan lingkungan sekitarnya. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan kepada masyarakat atau kepada orang tua penderita tentang pentingnya minum obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, serta pengawasan terhadap jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat diminum, dsb.

II.5.1.    Medikamentosa
II.5.1.1. Obat TB yang digunakan
              Obat-obat yang digunakan dalam pengobatan tuberkulosis dapat dibagi dalam 2 kategori yaitu OAT primer dan OAT sekunder. OAT primer adalah isoniazid,rifampisin, ethambutol, pyrazinamide, streptomisin. Dengan OAT primer tersebut kebanyakan penderita tuberkulosis dapat disembuhkan. Bila dengan OAT primer timbul resistensi, maka yang resisten itu digantikan dengan  paling sedikit 2-3 macam OAT sekunder yang belum resisten,sehingga penderita menerima 5 atau 6 macam obat sekaligus. OAT sekunder adalah asam para-aminosalisilat, ethionamide, thioacetazone, fluorokinolon, aminoglikosid, capreomycin, cycloserine, penghambat betalaktam, clarithromycin, linezolid dan lain-lain.
  Seperti kita ketahui, pengobatan TB mempunyai 2 tujuan utama, efektivitas penyembuhan yang maksimal dan mencegah terjadinya resitensi. Pengobatan juga harus mampu mencegah seminimal mungkin terjadinya kekambuhan, sehingga harus mampu membunuh semua kuman TB.  Prinsip dasar obat antituberkulosis harus dapat menembus berbagai jaringan termasuk selaput otak. Farmakokinetik obat anti tuberkulosis pada anak berbeda daripada orang dewasa. Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan 2 atau 3 kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan.
Resistensi harus dipikirkan jika ditemukan tanda-tanda berikut:
  • Pada kasus sumber yang dicurigai resisten
  • Kontak dengan kasus yang resisten
  • Kasus sumber yang pemeriksaan dahak mikroskopiknya tetap positif setelah 3 bulan pengobatan
  • Riwayat pengobatan TB sebelumnya
  • Riwayat terhentinya pengobatan TB
  • Pada anak yang dicurigai resisten
  • Kontak dengan kasus yang resisten
  • Tidak adanya respon terhadap pengobatan TB
  • Kembalinya TB setelah pengobatan patuh
OAT PRIMER
  Isoniazid
  Isoniazid (INH) adalah obat antituberkulosis yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. INH diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan (5-15 mg/kg/hari), maksimal 300 mg/hari. INH mempunyai dua efek toksik utama yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer, tetapi keduanya jarang terjadi pada anak, tetapi frekuensinya meningkat dengan bertambahnya usia. Hepatotoksik akan meningkat apabila diberikan bersama rifampisin dan PZA. INH tidak dilanjutkan pemberiannya pada keadaan kadar transaminase serum naik lebih dari 3 kali harga normal atau terjadi manifestasi klinik hepatitis, berupa mual, muntah, nyeri perut dan kuning. Isoniazid harus diberikan piridoksin,10 mg per 100 mg isoniazid untuk mencegah neuritis.
Ada sumber lain yang menyebutkan klasifikasi lain dalam hal jenis OAT :
A. OAT jalur 1
    INH (Isoniazid), Rifampisin, Pyrazinamyde, Streptomisin, dan Ethambutol
B. OAT jalur 2
    Etionamide, PAS, Sikloserin, Kanamisin/Amikasin/Capreomisin
C. OAT Eksperimental
    Kuinolon, Derivat Rifampisin, Makrolid, ß Laktam, ß Laktamase S,   Cephalosporin.
  Anak-anak atau dewasa muda yang tes kulit tuberkulinnya berubah dari negatif ke positif mungkin dapat diberikan INH, 5-10mg/kg/hari (maksimum 300 mg/hari), selama 1 tahun sebagai pofilaksi terhadap 5-15% risiko meningitis atau penyebaran milier. Untuk profilaksi, INH diberikan sebagai obat tunggal. Disamping bagi yang mengalami konversi tes kulit tanpa penyakit aktif, INH profilaktik juga dianjurkan untuk anggota keluarga atau orang lain yang berkontak sangat erat (terutama anak-anak, tetapi juga penghuni rumah perawatan) ke kasus aktif yang baru dikenal; dan pada orang dengan tes kulit positif yang menjalani kemoterapi imunosupresif atau anti kanker dan yang pada masa lalu belum menerima pengobatan antimikobakterium yang adekuat.
              Rifampisin
              Rifampisin bersifat bakteriosid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormand yang tidak dapat dibunuh oleh INH. Saat ini rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgbb/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian. Efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah) dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai oleh peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersama INH, terdapat peningkatan risiko hepatotoksisitas, yang dapat diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian INH menjadi maksimal 10 mg/kg/hari. Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin.
              Pirazinamid
              Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bakterisid hanya pada cairan intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan. Pemberian PZA secara oral dengan dosis 15-30 mg/kg/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Penggunaan PZA aman pada anak. PZA diberikan pada fase intensif karena PZA sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman masih sangat banyak.
              Etambutol
              Etambutol (EMB) jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Dosis EMB 15-20 mg/kg/hari, maksimal 1,25 gram/hari, dengan dosis tunggal. Memiliki aktivitas bakteriostatik, dan berdasarkan pengalaman, dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat lain. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau.
              Streptomisin
              Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik kuman ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler. Saat ini, streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB, tetapi penggunaannya penting dalam pengobatan yang resisten-obat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing.
OAT SEKUNDER
              PAS (Asam Para-amino Salisilat)
              Ditemukan tahun 1940, dahulu merupakan OAT garis pertama yang digunakan bersama dengan isoniazid dan streptomycin; kemudian kedudukannya digantikan oleh ethambutol. PAS memperlihatkan efek bakteriostatik terhadap M tuberculosis dengan menghambat secara kompetitif pembentukan asam folat dari asam para-amino benzoat. Penggunaan PAS sering disertai efek samping yang mencakup keluhan saluran cerna, reaksi hipersensitifitas (10% penderita), hipotiroid, trombositopeni, dan malabsorbsi.
              Ethionamide
              Setelah penemuan isoniazid beberapa turunan pyridine lainnya telah diuji dan ditemukan ethionamide dan prthionamide memperlihatkan aktifitas antimikobakteri. Mekanisme kerjanya sama seperti isonoazid, yaitu menghambat sintesis asam mikolat. In-viro kedua turunan pyridine ini bersifat bakterisid, tetapi resistensi mudah terjadi. Dosis harian adalah 500-1000mg, terbagi dua dosis. Efek samping utama adalah gangguan saluran cerna, hepatotoksisitas (4,3% penderita); ethionamide memperlihatkan kekerapan efek samping yang sedikit lebih rendah dari efek samping prothiamide. Efek samping yang lain adalah neuritis, kejang, pusing, dan ginekomastia. Untungnya, basil yang sudah resisten terhadap isoniazid masih entan dengan ethionameride, walaupun keduanya berasal dari senyawaan induk yang sama yaitu asam nikotinat. Antara ethionamide dan prothionamide terjadi resistensi silang.
              Thioacetazone
              Secara in viro dan in vivo diperlihatkan mempunyai khasiat bakteriostatik terhadap M. Tuberculosis. Resistensi silang sering terlihat antara thioacetazone dengan isoniazid dan ethionamide. Karena kerap menimbulkan reaksi hipersensitivitas berat (sindroma Steven Johnson), thioacetazone tidak dianjurkan untuk digunakan pada penderita dengan HIV3.
              Fluorokinolon
              Fluorokinolon menghambat tropoisomerase II (DNA gyrase), dan tropoisomerase IV tetapi enzim ini tidak ada pada mikobakteri. Sifat penting fluorokinolon adalah kemampuannya untuk masuk ke dalam makrofag dan memperlihatkan efek mikobakterisidnya di dalam sel itu. Yang diakui berkhasiat sebagai OAT adalah ciprofloxacin, ofloxacin, dan levofloxacin. Belakangan ini bahwa levofloxacin lebih unggul khasiatnya ofloxacin yang dicakupkan ke dalam pengobatan penderita MDR TB. Efek samping yang berkaitan dengan penggunaan fluorokinolon mencakup gangguan saluran cerna, efek neurologik, artopathy dan fotosensitivitas. Percobaan in vitro dengan fluorokinolon baru yakni gatifloxacin dan moxifloxacin, memperlihatkan aktivitas anti mikibakteri yang lebih baik dari levofloxacin.
              Aminoglikosid dan Capreomycin
              Kelompok obat suntik ini mempunyai mekanisme kerja mengikat ribosom di subunit 30S yang selanjutnya berakibat penghambatan sintesis protein. Pada pH rendah yaitu di dalam kavitas dan abses, penetrasi obat melewati dinding sel mikobakteri terhalang, dan ini dapat menerangkan kekurangmajuran glikosida sebagai obat antituberkulosis. Aminoglikosid berkhasiat bakterisid terhadap mikobakteri yang sedang membelah. Oleh karena itu, aminoglikosid hanya bermanfaat pada fase induksi.

II.5.1.2. Paduan Obat TB
              Prinsip dasat pengobatan TB adalah minimal 2 macam obat dan diberikan dalam waktu relatif lama (6-12 bulan). Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya relaps.

II.5.1.3. Fixed Dose Combination (FDC)
              Salah satu masalah dalam terapi TB adalah kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak. Untuk mengatasi hal tersebut maka dibuat suatu sediaan obat kombinasi dalam dosis yang telah ditentukan.
Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB adalah sebagai berikut :
  • Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep
  • Meningkatkan penerimaan dan kepatuhan pasien
  • Memungkinkan petugas kesehatan memberikan pengobatan standar dengan tepat
  • Mempermudah pengelolaan obat (mempermudah proses pengadaan, penyimpanan, dan distribusi obat pada setiap tingkat pengelola program pemberantasan TB)
  • Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (monoterapi) sehingga mengurangi resistensi terhadap obat TB
  • Paduan FDC mengurangi kemungkinan kegagaln pengobatan dan terjadinya kekambuhan
  • Mempermudah penentuan dosis berdasarkan berat badan.
Regimen Pengobatan berdasar kategori beserta alternatifnya
Kategori Pengobatan TB
Pasien TB
Regimen
Fase Initial (tiap hari atau 3x/minggu)
Fase Kontinu
I
Kasus baru :
BTA (+), TB paru
BTA (-) lesi luas
Sakit berat
TB ekstraparu berat
2 RHEZ (RSHZ)
2 RHEZ (RHSZ)
2 RHEZ (RHSZ)
6 HE
4 HR
4 H3R3
II
BTA (+) relaps
Gagal terapi
Pernah minum obat sebulan/>
2 RHEZS/1RHEZ
2 RHEZS/1RHEZ
5 H3R3E3
5 HRE
III
BTA (-), Ro mendukung
Ekstraparu ringan
2 RHZ
2 RHZ
2 RHZ
6 HE
4 HR
4 H3R3
IV
TB kronik
Not applicable



Efek Samping OAT
OBAT
REAKSI
SERING
KADANG
JARANG
ISONIAZID

Hepatitis
Reaksi kulit
Neuropati perifer
Kejang
Neuritis optik
Gejala mental
Anemia hemolitik
Anemia aplastik
Agranulositosis
Reaksi lupoid
Ginekomastia
RIFAMPISIN

Hepatitis
Reaksi kulit
Gejala GIT
Purpura trombositopenia
Febris
Flu like syndromes
ARF
Syok
Anemia hemolitik
PIRAZINAMID
Anoreksia
Nausea
Flushing
Hepatitis
Vomiting
Arthralgia
Reaksi kulit
Anemia sideroblastik
Fotosensitifitas
ETHAMBUTOL

Neuritis retrobulbar
Arthralgia
Reaksi kulit
Hepatitis
Neuropati perifer
STREPTOMISIN
Reaksi kulit
Tinnitus
Baal
Vertigo
Ataksia
Ketulian
Kerusakan ginjal
Anemia aplastik
Agranulositosis

Penatalaksanaan Efek Samping Obat anti Tuberkulosis
Efek Samping
Kemungkinan obat penyebab
Penatalaksanaan
Minor
- Anoreksia, nausea, abdominal pain
Rifampisin
Teruskan OAT, cek dosis. Obat diberikan malam sebelum tidur
- Nyeri sendi
Pirazinamid
Aspirin
- Rasa terbakar di kaki
Isoniazid
Piridoksin 100 mg
- Urine orange/merah
Rifampisin
Penyuluhan
Mayor
- Gatal, skin rash
Tiaoacetazon, streptomisin
Stop OAT, setelah timbul gatal beri terapi simptomatik dan teruskan obat, bila kemudian timbul skin rash, stop OAT
- Ketulian
Streptomisin
Stop streptomisin, ganti ethambutol
- Dizziness (vertigo dan nystagmus)
Streptomisin
Stop streptomisin, ganti ethambutol
- Jaundice
Kebanyakan OAT (terutama INH, Rifampisin, Pirazinamid)
Stop OAT, singkirkan etiologi lain, bila klinis (+) (ikterik,mual,muntah) stop OAT, bila klinis (-), periksa :
- bilirubin > 2 OAT stop
- trasaminase>5xOAT stop
- trasaminase>3x,gejala (+) OAT stop
- transaminase <5x,gejala (-) OAT diteruskan
Observasi ketat
- Muntah dan confuse (drug induced acute failure)
Kebanyakan OAT
Stop OAT
- Gangguan penglihatan
Ethambutol
Stop Ethambutol
- Syok purpura, gagal ginjal akut
Rifampisin
Stop Rifampisin


II.5.2     Non Medikamentosa
II.5.2.1. Pendekatan DOTS
              Hal yang paling penting pada tatalaksana tuberkulosis adalah perbaikan beberapa minggu setelah pengobatan sehingga merasa telah sembuh dan tidak melanjutkan pengobatan. Kepatuhan pasien ini menjamin keberhasilan pengobatan dan mencegah resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan kepatuhan pasien adalah dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment).
              Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas 5 komponen,yaitu sebagai berikut :
  1. komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana
  2. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
  3. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan
    Obat (PMO)
  4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin
  5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TBC.
              DOTS adalah strategi yang telah direkomendasi oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan tuberkulosis. Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung, yaitu mengharuskan adanya seseorang yang bertanggungjawab mengawasi pasien menelan obat disebut sebagai pengawas menelan obat (PMO). Orang yang dapat menjadi PMO adalah petugas kesehatan, keluarga pasien, kader, pasien yang sudah sembuh, tokoh masyarakat serta guru sekolah ata petugas unit kesehatan sekolah yang sudah dilatih strategi baru penanggulangan TB.
              Sayangnya, ternyata hasil dari strategi DOTS masih kurang dari yang diharapkan. Tahun 1995-1998, cakupan pasien TB dengan strategi DOTS baru mencapai mencapai sekitar 10%. Oleh karena itu, untuk lebih meningkatkan keteraturan minum obat, OAT dibuat dalam bentuk kombipak (kombinasi OAT dalam satu paket) dan fixed dose combination (FDC).
II.5.2.2. Sumber Penularan dan Case Finding
              Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktf dan melakukan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum.
II.5.2.3. Aspek Sosial Ekonomi
  Pengobatan TB memerlukan memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama maka memerlukan biaya yang cukup besar. Selain itu diperlukan penanganan gizi yang baik. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui tentang tuberkulosis. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB pada anak tidak menularkan kepada anak lain.

II.5.2.4. Pencegahan
- BCG
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin lebih dulu.
- Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB pada anak, sedangkan kemoprofilaksi sekunder mencegah aktifnya infeksi sehingga anak tidak sakit. Pada kemoprofilaksi primer, diberikan INH dengan dosis 5-10 mg/kgbb/hari, dosis tunggal, pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Obat dihentikan jika sumber kontak sudah tidak menular lagi dan anak ternyata tetap tidak infeksi (setelah uji tuberkulin ulangan). Kemoprofilaksi sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, klinis, dan radiologis normal. Anak yang mendapat kemoprofilaksi sekunder adalah usia balita, menderita morbili, varisela, dan pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid),usia remaja, dan infeksi TB baru, konversi uji tuberkulin dalam waktu kurang dari 12 bulan.
  
                 BAB V
KESIMPULAN

  1. Penyakit Tuberkulosis: adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
  2. Tidak ada satupun data klinis maupun penunjang selain pemeriksaan bakteriologis yang dapat memastikan diagnosis TB. Oleh karena itu, dalam penegakan diagnosis TB perlu analisis kritis terhadap sebanyak mungkin fakta.
  3. Pemberian pengobatan TB tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan kepada masyarakat atau kepada orang tua penderita tentang pentingnya minum obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, serta pengawasan terhadap jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat diminum.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Situs Resmi RSPI SS 2003 – 2007 Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso, Jakarta
  2. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. 2005. Jakarta
  3. Dr. Andi Utama, Peneliti Puslit Bioteknologi-LIPI.www.iptek.com
  4. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.htm
  5. http://www.medicastore.com/med/index.php.Uji tuberkulin dan klasifikasi TB
  6. Jurnal Tuberkulosis Indonesia.Vol._3 No._2 September 2006. Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia
  7. Kombinasi Dosis Tetap: Upaya Atasi Resistensi TB.Majalah Farmacia Edisi April 2006 , Halaman: 32 (9 hits)
  8. Tuberculosis Facts Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template